Jumat, 04 Maret 2011

Rotasi Kekuasaan

Runtuhnya kekuasaan
Mutohharun Jinan

            Alquran dengan tandas mengisahkan kehidupan peradaban bangsa-bangsa dan para penguasa terdahulu. Diantara peradaban bangsa-bangsa ada yang hancur luluh lantak (misal kaum Tsamud) ada juga bangsa yang makmur (negeri Saba’). Diantara penguasa yang dikisahkan ada penguasa yang jatuh tersungkur karena kedzalimannya (Qarun dan Firaun) ada pula penguasa yang kokoh lantaran kearifan dan keadilannya (Dzul Qarnain).
            Kepunahan peradaban dan keruntuhan kekuasaan para raja dikisahkan Alquran agar supaya manusia yang datang belakangan mengambil ibrah dan pelajaran sehingga tidak bernasib sama dengan pendahulunya. Benang merah penyebab jatuhnya kekuasaan dimana-mana nyaris sama, yakni mengabaikan kewajiban, menelantarkan hak rakyat, tamak, dan lupa diri.
            Namun agaknya, entah secara disengaja atau tidak, dalam bentangan sejarah kekuasaan kaum muslim sampai detik ini, banyak pemimpin yang memilih jalan menyimpang dan enggan mengambil pelajaran yang diberitakan kitab sucinya. Sejak abad pertengahan grafik kekuasaan bangsa-bangsa muslim bergerak turun menuju dasar peradaban dunia.
            Sejarawan dan sosiolog muslim terbesar, Ibnu Khaldun, dalam bukunya Muqaddimah pada abad ke-14 telah menemukan tesis-tesis penting seputar kebangkrutan kekuasaan negeri-negeri muslim.
            Disebutkan bahwa masyarakat dan negara yang kuat berdiri diatas tiga pilar. Pertama, solidaritas kebangsaan yang kokoh, di mana sikap dan perilaku mendzalimi, membenci dan menjatuhkan satu sama lain bertukar menjadi saling memberi, saling menghargai, dan saling melindungi. Kedua, kuantitas dan kualitas sumberdaya manusianya. Ketiga, pemimpin dan rakyatnya selalu optimis dan mau terus-menerus bekerja keras.
            Selanjutnya, menurut Ibnu Khaldun yang memandang proses sejarah dalam kerangka siklus, kekuasaan akan mengalami kejatuhan. Runtuhnya suatu imperium biasanya diawali dengan kedzaliman pemerintah yang tidak lagi memedulikan hak dan kesejahteraan rakyatnya serta sikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Akibatnya timbul rasa ketidakpuasan, kebencian dan ketidakpedulian rakyat terhadap hukum dan aturan yang ada.
            Situasi demikian akan semakin runyam bila terjadi perpecahan di kalangan elite penguasa yang kerap berbuntut disintegrasi sosial dan munculnya pemimpin oportunis. Yang paling menarik adalah observasi Ibnu Khaldun bahwa ketika negara sudah mencapai puncak kejayaan, kemakmuran dan kedamaian, maka pemerintah maupun rakyatnya cenderung menjadi tamak dan melampaui batas dalam menikmati apa yang mereka miliki dan kuasai. Itulah petanda kejatuhan kekuasaan tidak terelakkan lagi.
            Secara duniawi kekuasaan merupakan kontrak sosial pemimpin dengan rakyatnya. Kekuasaan dibangun untuk memuliakan rakyatnya. Dalam Islam, hakekat kekuasaan dan kepemimpinan tidak hanya kontrak sesama manusia, tetapi juga amanah yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah, Sang Pemilik mutlak segenap kekuasaan.
            Oleh karenanya, kaum muslim dituntut untuk sadar dan selalu bermunajat, ”Ya Allah Sang Pemilik kekuasaan, engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan”(QS Ali Imron: 26).