Selasa, 06 September 2016

ANTAR ANAK


ANTAR ANAK

Beberapa hari sebelum diganti Mendikbud Anies Baswedan menyerukan agar orang tua mengantarkan anaknya hari pertama masuk sekolah, yang sebagian besar  dilaksanakan pada tanggal 18 Juli 2016. Masyarakat menyambut anjuran tersebut dengan antusias.
Ada yang menyambutnya dengan serius sehingga edaran itu dianggap sebagai instruksi atasan yang harus dilaksanakan. Tidak sedikit pula yang menanggapinya dengan biasa saja, atau bahkan dengan candaan, bahwa mengantar anak ke sekolah itu aktivitas yang tidak penting bagi orang tua. Di media sosial topik mengantar anak ke sekolah menjadi bahan candaan atau lelucon baik dalam bentuk cerita maupun gambar.   
Apa pentingnya mengantar anak ke sekolah? Bagi sebagian orang mengantar anak ke sekolah adalah aktivitas yang biasa, sebagai tugas orang tua karena anaknya tidak bisa berangkat sendiri. Sehingga tidak ada sesuatu yang istimewa dalam kegiatan harian itu.
Bagi orang tua yang banyak kesibukan, mendampingi ini anak merupakan kegiatan yang amat langka. Dikatakan langka, karena dinilai kegiatan itu tidak penting. Atau bisa juga langka karena memang kesempatannya sangat terbatas. 
Mengantar anak ke sekolah bukan aktivitas biasa. Hari pertama masuk sekolah merupakan momentum penting bagi orang tua, siswa dan sekolah guna membangun interaksi dalam ekosistem pendidikan. Di samping itu, kegiatan itu dipandang penting dalam rangka untuk melakukan perubahan mental para pelaku pendidikan, khususnya orang tua untuk terlibat aktif dalam pendidikan putra/putrinya di sekolah.
Antar anak ke sekolah merupakan aktivitas yang menunjukkan perhatian dan kelekatan orang tua dan anak. Kelekatan (attachment) antara orang tua dan anak memberi dampak yang cukup signifikan pada perilaku anak di masa depan.
Jika anak memiliki kelekatan yang baik atau secure attachment dengan orang tuanya, maka diyakini anak tersebut akan berkembang lebih optimal dan memiliki perilaku yang positif. Anak akan tumbuh dengan kecerdasan moral dan sosial anak di kemudian hari. Jabat tangan dan lambaian tangan orang ketika anak memasuki gerbang sekolah tetap menjadi pilihan utamanya.
Dalam pemahaman demikian, bagi orang tua seharunya prihatin dan sedih jika tidak sempat mendampingi anaknya menuju ke tempat belajar atau ke sekolah. Orang tua seharusnya merasa kehilangan momentum dan kesempatan menyiapkan generasi masa depan.
Namun dalam masyarakat justru banyak terjadi aburditas dalam menyiapkan generasi. Betapa banyak orang yang beranggapan, bahwa mengantar anak sekolah menjadi penghambat menuju tempat kerja. Alasannya, toh anak sudah besar atau bisa diantar sopir yang lebih tangkas mengendarai mobil.
Kehidupan modern yang serba teknologis mempengaruhi pola hubungan atau kelekatan anak dan orang tua. Komunikasi sangat terbatas karena kesibukan dalam memenuhi tuntutan dan keinginan hidup. Banyak orang yang pergi kerja pagi sebelum anak-anaknya bangun dan pulang kembali ke rumah malam menemui anak-anaknya sudah tertidur.
Ketika ada kesempatan saling bercengkrama malah disia-siakan. Barangkali pembaca termasuk orang yang berkomunikasi dengan anak tanpa perhatian yang sungguh-sungguh. Misalnya, menanggapi pertanyaan dan pembicaraan anak sambil bermain HP.
Yang lebih parah lagi seruan itu menjadi bahan tertawaan. Maka ketika seruan mengantar anak atau mendampingi anak belajar menjadi bahan lelucon, sadar atau tidak, pada dasarnya menertawakan absurditas kehidupan dan keseharian masyarakat kita sendiri.
Masyarakat yang berakhlak luhur adalah ketika manusianya cepat sadar atas abasurditas kehidupannya. Sebaliknya, masyarakat yang berbudaya rendah adalah ketika manusia menertawakan kebodohannya sendiri.
Mutohharun Jinan, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta