ANTAR ANAK
Beberapa hari sebelum diganti Mendikbud Anies Baswedan menyerukan agar orang tua mengantarkan anaknya hari pertama masuk sekolah, yang
sebagian besar dilaksanakan pada tanggal
18 Juli 2016. Masyarakat menyambut anjuran tersebut dengan antusias.
Ada yang
menyambutnya dengan serius sehingga edaran itu dianggap sebagai instruksi
atasan yang harus dilaksanakan. Tidak sedikit pula yang menanggapinya dengan
biasa saja, atau bahkan dengan candaan, bahwa mengantar anak ke sekolah itu aktivitas
yang tidak penting bagi orang tua. Di media sosial topik mengantar anak ke
sekolah menjadi bahan candaan atau lelucon baik dalam bentuk cerita maupun
gambar.
Apa
pentingnya mengantar anak ke sekolah? Bagi sebagian orang mengantar anak ke
sekolah adalah aktivitas yang biasa, sebagai tugas orang tua karena anaknya
tidak bisa berangkat sendiri. Sehingga tidak ada sesuatu yang istimewa dalam
kegiatan harian itu.
Bagi orang
tua yang banyak kesibukan, mendampingi ini anak merupakan kegiatan yang amat
langka. Dikatakan langka, karena dinilai kegiatan itu tidak penting. Atau bisa
juga langka karena memang kesempatannya sangat terbatas.
Mengantar
anak ke sekolah bukan aktivitas biasa. Hari pertama masuk sekolah merupakan
momentum penting bagi orang tua, siswa dan sekolah guna membangun interaksi
dalam ekosistem pendidikan. Di samping itu, kegiatan itu dipandang penting
dalam rangka untuk melakukan perubahan mental para pelaku pendidikan, khususnya
orang tua untuk terlibat aktif dalam pendidikan putra/putrinya di sekolah.
Antar anak
ke sekolah merupakan aktivitas yang menunjukkan perhatian dan kelekatan orang
tua dan anak. Kelekatan (attachment) antara orang tua
dan anak memberi dampak yang cukup signifikan pada perilaku anak di masa depan.
Jika anak
memiliki kelekatan yang baik atau secure attachment dengan orang
tuanya, maka diyakini anak tersebut akan berkembang lebih optimal dan memiliki
perilaku yang positif. Anak akan tumbuh dengan kecerdasan moral dan sosial anak
di kemudian hari. Jabat tangan dan lambaian tangan orang ketika anak memasuki
gerbang sekolah tetap menjadi pilihan utamanya.
Dalam
pemahaman demikian, bagi orang tua seharunya prihatin dan sedih jika tidak
sempat mendampingi anaknya menuju ke tempat belajar atau ke sekolah. Orang tua
seharusnya merasa kehilangan momentum dan kesempatan menyiapkan generasi masa
depan.
Namun dalam
masyarakat justru banyak terjadi aburditas dalam menyiapkan generasi. Betapa
banyak orang yang beranggapan, bahwa mengantar anak sekolah menjadi penghambat
menuju tempat kerja. Alasannya, toh anak sudah besar atau bisa diantar sopir
yang lebih tangkas mengendarai mobil.
Kehidupan
modern yang serba teknologis mempengaruhi pola hubungan atau kelekatan anak dan
orang tua. Komunikasi sangat terbatas karena kesibukan dalam memenuhi tuntutan
dan keinginan hidup. Banyak orang yang pergi kerja pagi sebelum anak-anaknya
bangun dan pulang kembali ke rumah malam menemui anak-anaknya sudah tertidur.
Ketika ada
kesempatan saling bercengkrama malah disia-siakan. Barangkali pembaca termasuk
orang yang berkomunikasi dengan anak tanpa perhatian yang sungguh-sungguh. Misalnya,
menanggapi pertanyaan dan pembicaraan anak sambil bermain HP.
Yang lebih
parah lagi seruan itu menjadi bahan tertawaan. Maka ketika seruan mengantar
anak atau mendampingi anak belajar menjadi bahan lelucon, sadar atau tidak,
pada dasarnya menertawakan absurditas kehidupan dan keseharian masyarakat kita
sendiri.
Masyarakat
yang berakhlak luhur adalah ketika manusianya cepat sadar atas abasurditas
kehidupannya. Sebaliknya, masyarakat yang berbudaya rendah adalah ketika
manusia menertawakan kebodohannya sendiri.
Mutohharun
Jinan, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta