Sabtu, 23 Juli 2011

Mendidik Hati Nurani

Adakah sesuatu yang pandai memberi nasehat selain guru dan orang tua? Adakah tempat bertanya tentang kebaikan dan keburukan selain sahabat karib? Jawabannya tentu ada, yaitu hati nurani.
Dalam satu riwayat disebutkan Rasulullah SAW bersabda: ”Hai Wabishah, bertanyalah kepada hati nuranimu sendiri, kebaikan adalah sesuatu yang jika kau lakukan jiwamu merasa tenang, hati nurani-mu pun merasa tentram. Sedangkan  keburukan  adalah  sesuatu  yang  jika  kau lakukan jiwamu bergejolak dan hati nuranimu berdebar-debar, meskipun  orang banyak memberi  tahu  kepadamu (lain dari yang kau rasakan)” (HR. Ahmad).
Selain Alquran dan Sunnah, hati nurani manusia yang bersih juga dapat dijadikan sebagai sumber penilai perbuatan manusia. Sesuai dengan fitrahnya yang cenderung kepada kebenaran dan kebaikan, manusia  dikaruniai hati nurani yang dapat  membedakan antara  hal  yang baik dan yang buruk.
Karena itu, setiap orang yang akan melakukan perbuatan pada dasarnya telah disensor oleh nuraninya sendiri. Sensor itu kemudian menginformasikan apakah perbuatan yang akan dilakukan tersebut baik atau buruk dan benar atau salah.
Ada sebagian orang yang sering melawan suara hati nuraninya sendiri. Orang semacam ini lebih banyak dikuasai oleh nafsu buruk sehingga cenderung melawan nasehat baik dan benar dari hati nuraninya. Dorongan-dorongan lahiriyah sering kali mengalahkan kehendak terdalam dirinya.
Raja Ali Haji, dalam karya termasyhur Gurindam Dua Belas, pada pasal keempat bertutur: ”Hati itu kerajaan di dalam tubuh, jikalau zalim segala anggota pun rubuh”. Hati yang zalim adalah hati yang tertutup oleh nafsu kemaksiatan.
Sementara, ada juga sebagian orang yang sangat taat dan patuh dengan suara nuraninya sendiri sehingga perbuatannya terkendali dan tidak terpengaruh oleh hal-hal yang berada di luar dirinya. Sikap dan perilaku yang muncul adalah disiplin, amanah, dan jujur dalam setiap pekerjaan dan tugas-tugas menjadi bagian dari sikap hidupnya sehari-hari.
Beberapa waktu lalu terdengar kasus tentang dilema kejujuran dalam dunia pendidikan, dimana seorang murid menolak untuk berbuat tidak jujur atas perintah gurunya. Barang kali inilah  contoh paling telanjang pertarungan antara hati nurani dan dorongan nafsu untuk tujuan lahiriah semata.
Seorang guru menyuruh muridnya berlaku tidak jujur bukan karena tidak tahu perbuatan itu salah atau keliru dalam mendidik. Begitu juga tujuan guru untuk kebaikan,  yaitu meluluskan semua murid dan menyelamatkan nama baik sekolah. Tekanan dan dorongan-dorongan dari luar begitu kuat berpengaruh sehingga mengorbankan hakekat seluruh proses pendidikan itu sendiri, yaitu mendidik hati nurani.
Dalam Islam, mendidik hati nurani sejatinya adalah mendidik untuk kembali kepada dasar hidup, yaitu ketaqwaan kepada Allah. Ketaqwaan dalam arti kesadaran akan kehadiran Allah di setiap saat dan tempat. Kehadiran itu akan membimbing kepada perilaku baik dan akhlak yang mulia, karena menyadari bahwa Allah hanya ridha kepada kebaikan dan kejujuran, sebaliknya tidak ridha pada keburukan dan  kepalsuan.
Mutohharun Jinan, pengasuh Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta
(Sumber: Solopos, 15 Juli 2011)

Jumat, 17 Juni 2011

Muslim Inspiratif


 
Dalam menjalin hubungan dan kerjasama dengan orang lain, pertanyaan yang sering muncul adalah apa manfaat atau keuntungan yang akan diperoleh. Sebaliknya, tidak banyak yang menyiapkan manfaat dan keuntungan apa yang akan diberikan dalam bekerjasama. Karena itu, ada beberapa tipe orang berdasarkan tujuannya menjalin hidup bersama dengan orang lain.
Tipe yang pertama orang yang hidup untuk memuaskan diri sendiri. Barang kali tidak sulit dijumpai dalam tata pergaulan sosial sehari-hari. Indikasi terpenting orang yang tergolong kedalam tipe ini adalah keengganan memberikan kemampuan dan keahliannya untuk kemajuan lingkungan sosialnya. Sekurang-kurangnya orang tipe pertama ini cenderung apatis dalam segenap aktivitas sosial yang non-profit. Tipe ini melihat setiap aktivitas dalam bingkai traksaksional, setiap aktivitas digerakkan oleh keuntungan secara pribadi baik yang bersifat financial, material, dan moral-spiritual.
Kedua, orang yang menempatkan diri secara subordinate bagi orang lain. Maksudnya, keterlibatan dalam berbagai aktivitas diletakkan dalam kerangka keuntungan diri sendiri dan bersama. Meningkat sedikit dari tipe yang pertama, yaitu tipe kedua ini biasanya tipe ini bersikap pasif bukan proaktif, menunggu digerakkan bukan berinisiatif menggerakkan orang lain dalam membangun masyarakat dan lingkungannya. Spirit fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) tidak sedikitpun melekat dalam semangat hidupnnya. Ada kesadaran tentang pentingnya hidup bersama tetapi kesadaran itu tidak kunjung diteruskan dalam bentuk tindakan nyata kecuali ada orang yang menyentak kesadarannya.
Berbeda dengan dua tipe sebelumnya, tipe yang ketiga adalah orang yang selalu berada di depan dalam aktivitas untuk kemajuan di masyarakat dan lingkungannya. Segenap pengetahuan, kemampuan, kekuasaan, dan keahliannya selalu dikaitkan dengan realitas sehari-hari di masyarakatnya. Secara proaktif, mengajak, menunjukkan, dan berinisiatif menggerakkan diri dan orang di sekitarnya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat.
Orang yang semacam itu akan selalu memberi inspirasi orang lain melakukan tindakan-tindakan positif dan produktif. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa yang menunjukkan pada kebaikan, baginya pahala seperti orang mengerjakannya“ (HR. Malik). Hadis ini mendorong supaya kaum muslim saling menunjukkan dan mengingatkan untuk berbuat baik serta memberi inspirasi orang melakukan perbaikan. Inilah muslim inspiratif, yaitu orang yang penuh dengan semangat memberi dorongan dan menggairahkan orang lain dalam kebaikan.
Muslim inspiratif digerakkan oleh semangat dan panggilan nurani untuk memperbaiki masyarakat dan lingkungannya. Setiap orang bisa memberi inspirasi kabaikan bagi orang lain sesuai dengan kedudukan dan kemampuan masing-masing. Seorang pemimpin menjadi inspirator karena sikap adilnya terhadap rakyat, seorang pegawai dan pekerja menjadi inspirator karena kejujuran dan ketulusannya, buruh miskin menjadi inspirator karena semangat berkerjanya, dan seterusnya.
Muslim inspiratif berarti kehadirannya memberi manfaat orang lain. Keberadaannya membuat orang lain senang, dan orang lain merindukan jika ia tidak ada. Kehadiran dinantikan tatkala jauh, disambut hangat di kala dekat. Barang kali, itu juga maksud sabda Rasulullah SAW: ”Sebaik-baik orang adalah yang bermafaat (inspiratif) bagi orang lain”. (Sumber: Solopos, Jumat 17 Juni 2011)

Senin, 13 Juni 2011

N-11 DAN N12 1

N-11 DALAM NEGARA DEMOKRASI


Pendahuluan
Data empirik pada realitas politik menunjukkan, dalam dua pemilu terakhir suara partai Islam melorot tajam. Bahkan dalam sejarah pemilu di Indonesia dukungan terbesar pemilih muslim pada parpol Islam terjadi pada pemilu 1955 sebesar 44%. Setelah itu dengan segala dinamika yang menyertai, parpol Islam memperoleh dukungan tidak lebih dari 30%. Partai-partai Islam sebagai alat perjuangan politik Islam tidak mendapat dukungan yang signifikan, sementara kehendak untuk mendirikan negara Islam dan menjadi Islam sebagai dasar negara secara formal masih tetap kuat membara dalam kesadaran dan nalar aktivis muslim.
Tampaknya bagi sebagian umat Islam kegagalan meraih dukungan signifikan dari pemilih muslim demikian bukan dipahami sebagai kesalahan strategi dalam berkomunikasi dan merebut hati rakyat yang mayoritas muslim. Tetapi sebaliknya sering dipahami sebagai akibat konspirasi jahat kekuatan anti-Islam dari dalam dan luar negeri. Karena itu, respon yang muncul justru aktualisasi kekuatan latin koservatisme dalam komunitas gerakan Islam. Dari sini muncul kembali romantisme ke masa lalu yang jauh ke model sistem khilafat atau romatisme dekat ke masa awal-awal kemerdekaan yaitu NII yang pernah lahir dalam sejarah nasional.
Selanjutnya, gerakan NII tidak pernah lenyap dari cita-cita sebagian umat Islam di Indonesia. Cita-cita mengenai negara Islam Indonesia tidak berhenti seiring diantangkapnya deklarator NII RM Kartosoewirjo oleh TNI pada tahun 1962. Dari waktu ke waktu hingga era reformasi saat ini cita-cita NII tetap menjadi payung bagi sejumlah gerakan Islam baik secara struktural maupun kultural, dalam landscape sistem demokrasi.

Diversifikasi Gerakan NII
Di Indonesia wacana dan karya kesarjanaan tentang negara Islam sering dikaitkan dengan aspirasi ideologis dan politis ”golongan agama” yang kemudian bermetamorfosis menjadi partai Islam. Ini karena mereka, sebagaimana tercermin dalam di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (1945) dan sidang Konstituante (1956-1957) ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Sebagaimana dimaklumi khalayak, perdebatan dalam BPUPKI lebih pada keinginan menjadikan Islam sebagai dasar negara, bukan negara Islam. Baru pada 7 Agustus Kartosoewirjolah yang jauh melangkah menyatakan sikap politiknya secara tegas mengumumkan berdirinya NII melalui gerakan. Namun begitu, sejatinya ada banyak ulasan dan alasan (interpretasi) agamis, sosiologis, politis mengapa NII muncul sebagai cita-cita sebagian pemeluk Islam di Indonesia sejak sebelum negeri ini terbebas dari kolonialisme.
Dari aspek pengalaman keagamaan pendiri gerakan NII sejatinya tidak cukup meyakinkan untuk menjadi pioner gerakan Islam militan. Cornelis Van Dijk, dalam bukunya Darul Islam, setidaknya menggambarkan sosok SM Kartosoewirjo sebagai orang yang tidak masuk dalam kategori santri dalam terminologi Geertz. Sekolahnya pun tidak berasal dari pesantren tetapi dari sekolah HIS dan NIAS, sekolah dokter Jawa milik pemerintah kolonial. Sementara keluarganya berasal dari struktur priyayi. Ayahnya seorang penjual candu, seorang perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan oleh pemerintah /kolonial (Tempo, 22 Agustus 2010, 72).
Terlepas asal-usul keluarga dan pendidikan formal itu, ia memang pernah berguru kepada HOS Cokroaminoto –bapak pergerakan nasionalisme Indonesia melalui syarikat Islam- selama sekitar empat tahun di Surabaya. Berbeda dengan Soekarno (nasionalis) dan Semaun (komunis) yang pernah menjadikan Cokroaminoto sebagai mentor dan inspirator gerakan, Kartosoewirjo setelah rampung berguru ditunjuk sebagai wakil PSII di Jawa Barat dan bahkan pernah bergabung ke Masyumi (7/8/1945). Kartosoewirjo banyak mendapatkan wawasan keagamaan secara otodidak dan dari para guru yang dijumpai di Malangbong Garut Jawa Barat.
Lazimnya sebuah gerakan sempalan muncul karena faktor ketidakterimaan terhadap reposisi suatu kelompok dalam tatanan baru. Ada semacam kecemburuan tidak dilibatkannya kelompok Kartosoewirjo dalam proses peletakan dasar-dasar bernegara pascakolonialisme. Deklarasi NII, menurut Deliar Noer juga karena kekecewaan terhadap isi Persetujuan Renville. Kartosoewirjo yang saat itu memimpin sebagian kekuatan bersenjata umat di daerah Jawa Barat tidak setuju dengan perjanjian Renville yaitu ditariknya kekuatan bersenjata Indonesia, termasuk Hizbullah dan Sabilillah dari daerah yang dianggap dikuasai Belanda yang sebagian wilayahnya adalah Jawa Barat.
Sementara itu, rakyat juga masih diselimuti kecemasan atas jatuhnya pemerintahan RI di Yogyakarta pada Desember 1948 karena aksi militer Belanda, dan ditangkapnya sejumlah tokoh penting dalam pemerintahan, sehingga terjadi kekosongan pemerintahan RI. Vacum of power seringkali memunculkan pikiran-pikiran liar untuk memanfaatkan kesempatan dengan memisahkan diri dari keseluruhan sistem yang sedang berlangsung. Dalam situasi semacam ini NII menemukan momentum dipermaklumkan.
Dalam konteks ini kental warna kebencian terhadap kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan berdirinya NII. NII Kartosoewirjo menetapkan dua tahap perjuangan revolusi. Pertama revolusi nasional, melawan penjajah Belanda yang sudah berhasil dilakukan pada proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kedua, revolusi sosial melawan pemerintahan Indonesia yang tidak berdasarkan Islam tetapi menganut sistem demokrasi dan Pancasila (Haluan Politik Islam, 1946).
Kartosoewirjo ditangkap hidup-hidup di gunung Geber Majalaya tahun 1962 setelah 13 tahun gerilya melawan TNI dan dieksekusi oleh regu tembak pada 5 September 1962 bersama lima anak buahnya. Situasi dan dinamika NII segera berubah antara diburu untuk dilenyapkan atau dijinakkan guna kepentingan politik baru seiring dengan pemberontakan PKI (gerakan 30 September 1965). Karena Orba akan segera menggelar pemilu bersaing dengan PKI maka anggota NII dijinakkan sebagai alat rahasia untuk memenangkan Golkar di wilayah Jabar khususnya. Pada tahun 1971 mereka dibiayai untuk mengadakan reuni eks-NII dan penyuluhan sekitar pemilu serta menjadikan PKI sebagai musuh bersama. Maka berlakulah prinsip ”musuh dari musuh adalah teman”.
Gagasan negara Islam tidak mati setelah Kartosoewirjo mangkat. Operasi inteljen untuk menjinakkan justru memicu gerakan neo-Darul Islam, dengan ragam faksi dan metode gerakan. Sempat terjadi pembelahan kedalam dua sel, yakni kelompok fillah (berjuang tanpa tanpa senjata) dan kelompok fisabilillah (yang tetap mengobarkan perang dengan ideologi iman, hijrah, dan jihad. Memang dalam sosiologi gerakan keagamaan biasanya berlaku dalil, tatkala pimpinan telah dianggap lemah dan lamban dalam melakukan gerakan maka kelompok militan akan tampil menyelamatkan etika kelompok dengan risiko memisahkan diri dari kelompok dominan.
Faksi NII mengalami pemendaran yang sangat kompleks. Di Garut misalnya masih ada Sensen Komara menjalankan Negara Islam Indonesia, meneruskan perjuangan ayahnya yang juga petinggi DI era Kartosoewirjo. Faksi Ajengan Masduki, 1979 (DI ansharulah dan akram). Faksi Abdullah Sungkar 1993 (mendirikan Jamaah Islamiyah). Faksi Adah Djaelani 1995. Faksi Tahmid Rahmad Basuki, 1999. Faksi KW-9 Al-Zaytun pimpinan Panji Gumilang 1998.
 
Cita-Cita NII dalam Arena Demokarsi
Gayuh dengan cita-cita NII lantaran kecewa dengan perjuangan tokoh muslim dalam merumuskan dasar negara, mimpi NII yang terus hidup juga selalu mendapat kipasan demografis muslim sebagai mayoritas. Secara statistik penduduk muslim di negeri ini mencapai 87%. Namun demikian pemeluk yang mayoritas itu memiliki orientasi keagamaan, ritual, politik, dan budaya yang berbeda-beda. Komposisi pemeluk sebagai mayoritas tersebut seringkali menjadi dasar tuntutan bagi pemberlakuan syariat, tuntutan penempatan Islam sebagai dasar negara hingga perjuangan pembentukan NII atau bentuk lain.
Tuntutan lain adalah sudah sewajarnya mayoritas muslim mendirikan negara Islam dengan segala institusi detailnya. Sementara yang lain mengatakan pentingnya penerapan nilai-nilai Islam dalam format substansi dalam bingkai sistem demokrasi. Dalam konteks itulah lalu muncul persoalan, apakah penerapan Islam itu harus dalam format negara dan undang-undang NII sebagaimana Kartosoewirjo atau mengusung nilai luhur dalam suatu sistem yang kompatibel dengan sistem pemerintahan demokrasi modern?
Jawaban terhadap pertanyaan itu beragam tergantung lingkungan sosial politik dan persepsi serta pemahaman terhadap situasi sosial dan arti kepemelukan secara statistik. Bagi yang mendukung negara Islam memiliki alasan sejarah tentang berdirinya berbagai kerajaan Islam di hampir seluruh sudut Tanah Air dari Aceh sampai Papua. Tentu saja ada alasan teologis, bahwa seorang muslim harus mengikuti segenap perilaku Nabi Muhammad dalam segala aspeknya baik yang bersifat privat maupun publik-bernegara.
Di lain pihak, tidak sedikit pula yang tidak mempermasalahkan bentuk negara atau dasar negara tetapi pada fungsi dan realisasi nilai-nilai luhur dan kemanusiaan yang pada satu sisi paralel dan kompatibel dengan sistem negara modern (Bilveer, 2007). Kelompok ini berpendapat bahwa suatu masyarakat bisa disebut menerapkan ajaran Islam dilihat dan diukur dari kualitas dan realitas kehidupan mereka. Kualitas itu meliputi seluruh aspek kehidupan sosial dan individual secara kasat mata walaupun tidak secara verbal dinyatakan sebagai negara Islam.
Dua pandangan tersebut berimplikasi dalam berbagai persoalan, termasuk tentang sikap terhadap demokrasi. Sedikitnya ada tiga pendapat yang berbeda dalam menyikapi hubungan demokrasi dengan Islam. Pertama, mereka yang menolak demokrasi dengan mengatasnamakan Islam. Mereka ini bependapat bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang bertentangan dan tidak akan bisa dipertemukan. Mereka beralasan: (1) Demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia sedangkan Islam berasal dari Allah. (2) Demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; sedangkan Islam mengatakan bahwa kekuasaan itu milik Allah. (3) Demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak, padahal belum tentu suara terbanyak merupakan kebenaran.
Dalam buku ini kelompok yang termasuk dalam paham ini adalah gerakan-gerakan fundamentalis muslim seperti HTI, JAT, laskar Jihad, dan MMI. Mereka menolak demokrasi karena dinilai tidak islami. Iklim kebebasan justru memungkinkan komunitas ini tetap eksis bahkan bebas menyuarakan aspirasi. Ada yang dengan lantang menyuarakan sistem khilafah sebagai untuk mengamandemen demokrasi. Ada pula yang memilik golput karena demokrasi dianggap biang perpecahan, demokrasi musibah bagi bangsa Indonesia.
Kedua, mereka yang pro-demokrasi secara moderat. Kelompok ini berpendapat bahwa ada yang positif dalam sistem demokrasi, dan hakikat dari demokrasi itu sendiri tidak bertentangan, bahkan bersesuaian, dengan ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa hakikat demokrasi itu adalah hak rakyat untuk memilih siapa pemimpinnya. Tidak boleh ada yang memaksa mereka untuk memilih pemimpin yang tidak mereka sukai, atau pemimpin zhalim, atau korup, yang merampas hak-hak mereka sebagai rakyat.
Substansi demokrasi ini berarti juga meniscayakan perlu adanya mekanisme dalam pemerintahan yang memungkinkan rakyat untuk melakukan fungsi kontrol atau pengawasan, juga evaluasi terhadap jalannya pemerintahan. Disamping perlu pula adanya mekanisme yang memungkinkan rakyat memberikan peringatan dan menasihati pemimpin apabila mereka menyimpang dari amanat yang diberikan kepada mereka; juga peringatan keras kepada pemimpin yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyatnya; bahkan memungkinkan rakyat untuk memakzulkannya dengan jalan damai. Gerakan dan organisasi tradisonal, modernis moderat, dan tarekat masuk dalam kategori ini.
            Ketiga, kelompok yang menerima demokrasi dengan opsi. Mereka menerima demokrasi tetapi dengan catatan pengecualian. Ada yang menghalalkan pemilu namun mengharamkan presiden perempuan dan pemimpin non-muslim. Ada juga yang memilih pemilu sebagai arena berjuang karena memberi peluang penerapan syariat Islam. Sementara ada juga yang menerima demokrasi karena mencegah bahaya yang lebih besar, yaitu mencegah kepemimpinan agama lain sehingga demokrasi diterima karena darurat.

Demokrasi sebagai Sasaran Antara
Pasca-Orde baru runtuh tahun 1998 masa reformasi ketika semua golongan masyarakat bebas mengemukakan aspirasinya dan membentuk kelompok dan partai, muncul lagi gagasan NII. Praktek demokrasi memunculkan fenomena baru tentang rivalitas gagasa konservatif NII. Fenomena demikian merupakan pengalaman berharga bagi aktivis gerakan Islam sehingga memunculkan fenomena lain yang lebih menarik yaitu pemanfaatan demokrasi bagi tujuan-tujuan yang dalam banyak hal berbeda atau bertentangan dengan ide dasar demokrasi itu sendiri.
Gagasan ini sepertinya tak pernah benar-benar lenyap dari kesadaran teologis dan ideologis pemeluk Islam di negeri ini. Kadang begitu kuat dan meluas menjadi wacana publik, tetapi sekali waktu tenggelam beredar secara diam-diam dari mulut ke mulut dari ruang bawah tanah. Pada saat yang lain kembali muncul secara terbuka dan mendadak dalam bentuk paling radikal dan keras yang bahkan membuat sebagian umat Islam mengecamnya. Karena itu, kuat diduga NII sengaja dimainkan untuk dalam situasi politik tertentu dan untuk tujuan kelompok tertentu pula. Eksplorasi yang amat memuaskan tentang bangkitnya gagasan negara Islam telah dilakukan oleh Haedar Nashir dalam Islam Syariat (2008). Bahwa perjuang penegakan negara Islam melalui jalur atas dan dan jalur bawah. Sejauh ini tidak ada buku lain yang setara dengan buku dari desertasi tersebut.
Fenomena lain yang menarik dicermati era reformasi adalah munculnya gerakan-gerakan politik yang menumpang demokrasi. Mereka menerima demokrasi sebagai suatu keharusan sejarah yang harus dilalui. Karena itu demokrasi merupakan rumah singgah sementara yang dapat mengantarkan cita-cita utama negara Islam atau negara berdasar syariah Islam. Perjuangan penegakan hukum Islam harus melalui mekanisme yang berlaku yaitu dengan mendirikan partai politik, menempati posisi pengambil kebijakan, menerbitan undang-undang dan usaha-usaha lain yang konstitusional. Partai-partai Islam semacam PKS termasuk dalam kategori ini (hlm. 210). Jamaah Tablig, Al-Irsyad, Hidayatullah ormas yang dekat dengan sikap ini. Rekaman tentang keganjilan-keganjilan ekspresi dalam era demokrasi ini seputar cita-cita negara Islam ini dengan lugas dan provokatif diuraikan dalam buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (2009).
Pendek kata, cita-cita tegaknya negara Islam di Indonesia masih terus dikobarkan dengan beragam jalan. Sebagian berusaha mewujudkan dengan jalan jihad fisik. Sebagian dengan jalan memanfaatkan konstitusi, dan sebagian lain dengan jalur kultural dan pendidikan. Suka atau tidak suka, demokrasi telah menjadi bagian penting dalam pengelolaan bangsa yang mayoritas muslim ini. Yang menarik dari proses demokratisasi di Indonesia, bukan hanya bahwa bangsa ini berhasil bangkit dari kungkungan politik otoritarian dan membangun sistem demokrasi di negeri Muslim terbesar di planet ini, melainkan juga fakta bahwa aktor-aktor utama dalam proses demokratisasi tersebut adalah para tokoh dan organisasi Muslim.
Fakta keras ini yang kemudian membuat para pengamat dan advokat demokrasi menobatkan Indonesia—negeri Muslim terbesar di planet ini—sebagai ‘the shining example’ demokrasi di dunia Islam, sekaligus mengangkat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Ini sekaligus mematahkan pandangan umum di kalangan sarjana dan pengamat Barat bahwa Islam memiliki banyak pertentangan dengan demokrasi, dan karena itu negeri Muslim adalah lahan tandus bagi proses demokratisasi.
            Apa yang terjadi di Indonesia lebih dari satu daswarsa lalu kini terulang di negara otoritarian dan monarki di negara-negara muslim di kawasan Arab-Afrika. Sekurang-kurangnya di sana akan terjadi pergumulan baru antara kekuatan-kekuatan Islam baik yang pro maupun yang kontra demokrasi.

Penutup
Wacana yang mengemuka belakangan adalah ideologi pendirian negara Islam yang tak pernah padam itu tertuduh(?) sebagai biang kecemasan dalam masyarakat. Orang tua mencemaskan anaknya yang kuliah semakin ”saleh”, dermawan mencemaskan pencari sumbangan, bupati mencemaskan sekolah yang tidak mau menyelenggarakan upacara, para veteran mencemaskan anak TK yang tidak hafal pancasila dan lagu Indonesia Raya. Semua kecemasan disinyalir bermuara pada ideologi emoh NKRI. Dalam berdemokrasi ideologi dan cita-cita apa saja boleh ditawarkan asalkan dengan mempertimbangkan konstitusi yang telah disepakati dan menjaga ketertiban umum dalam bingkai hukum yang berlaku. Cita-cita negara Islam, masyarakat Islam, sekuler, khilafah islamiyah, dan lain-lain bisa menjadi bagian dari keseluruhan model pilihan. 
 Menutup tulisan ini ada baiknya disimak kegelisahan banyak pihak yang terwakili dalam kutipan berikut:
”Mekarnya NII, terorisme, dan radikalisme menghentak kesadaran semua pihak. Gerakan seperti ini tidak lah sederhana. Gerakan yang cenderung radikal ini biasanya lahir dalam kompleksitas masalah yang ruwet. Termasuk dalam ranah keagamaan. Gerkan ini muncul dari situasi politik, ekonomi dan budaya yang penuh antagonis, karena itu solusinya pun tidak dapat parsial, tetapi memerlukan pendekatan yang menyeluruh” (Suara Muhammadiyah, 1-15 Juni 2011, hlm.6).

NII DALAM NEGARA DEMOKRASI

N-11 DALAM NEGARA DEMOKRASI

Pendahuluan
Data empirik pada realitas politik menunjukkan, dalam dua pemilu terakhir suara partai Islam melorot tajam. Bahkan dalam sejarah pemilu di Indonesia dukungan terbesar pemilih muslim pada parpol Islam terjadi pada pemilu 1955 sebesar 44%. Setelah itu dengan segala dinamika yang menyertai, parpol Islam memperoleh dukungan tidak lebih dari 30%. Partai-partai Islam sebagai alat perjuangan politik Islam tidak mendapat dukungan yang signifikan, sementara kehendak untuk mendirikan negara Islam dan menjadi Islam sebagai dasar negara secara formal masih tetap kuat membara dalam kesadaran dan nalar aktivis muslim.
Tampaknya bagi sebagian umat Islam kegagalan meraih dukungan signifikan dari pemilih muslim demikian bukan dipahami sebagai kesalahan strategi dalam berkomunikasi dan merebut hati rakyat yang mayoritas muslim. Tetapi sebaliknya sering dipahami sebagai akibat konspirasi jahat kekuatan anti-Islam dari dalam dan luar negeri. Karena itu, respon yang muncul justru aktualisasi kekuatan latin koservatisme dalam komunitas gerakan Islam. Dari sini muncul kembali romantisme ke masa lalu yang jauh ke model sistem khilafat atau romatisme dekat ke masa awal-awal kemerdekaan yaitu NII yang pernah lahir dalam sejarah nasional.
Selanjutnya, gerakan NII tidak pernah lenyap dari cita-cita sebagian umat Islam di Indonesia. Cita-cita mengenai negara Islam Indonesia tidak berhenti seiring diantangkapnya deklarator NII RM Kartosoewirjo oleh TNI pada tahun 1962. Dari waktu ke waktu hingga era reformasi saat ini cita-cita NII tetap menjadi payung bagi sejumlah gerakan Islam baik secara struktural maupun kultural, dalam landscape sistem demokrasi.

Diversifikasi Gerakan NII
Di Indonesia wacana dan karya kesarjanaan tentang negara Islam sering dikaitkan dengan aspirasi ideologis dan politis ”golongan agama” yang kemudian bermetamorfosis menjadi partai Islam. Ini karena mereka, sebagaimana tercermin dalam di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (1945) dan sidang Konstituante (1956-1957) ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Sebagaimana dimaklumi khalayak, perdebatan dalam BPUPKI lebih pada keinginan menjadikan Islam sebagai dasar negara, bukan negara Islam. Baru pada 7 Agustus Kartosoewirjolah yang jauh melangkah menyatakan sikap politiknya secara tegas mengumumkan berdirinya NII melalui gerakan. Namun begitu, sejatinya ada banyak ulasan dan alasan (interpretasi) agamis, sosiologis, politis mengapa NII muncul sebagai cita-cita sebagian pemeluk Islam di Indonesia sejak sebelum negeri ini terbebas dari kolonialisme.
Dari aspek pengalaman keagamaan pendiri gerakan NII sejatinya tidak cukup meyakinkan untuk menjadi pioner gerakan Islam militan. Cornelis Van Dijk, dalam bukunya Darul Islam, setidaknya menggambarkan sosok SM Kartosoewirjo sebagai orang yang tidak masuk dalam kategori santri dalam terminologi Geertz. Sekolahnya pun tidak berasal dari pesantren tetapi dari sekolah HIS dan NIAS, sekolah dokter Jawa milik pemerintah kolonial. Sementara keluarganya berasal dari struktur priyayi. Ayahnya seorang penjual candu, seorang perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan oleh pemerintah /kolonial (Tempo, 22 Agustus 2010, 72).
Terlepas asal-usul keluarga dan pendidikan formal itu, ia memang pernah berguru kepada HOS Cokroaminoto –bapak pergerakan nasionalisme Indonesia melalui syarikat Islam- selama sekitar empat tahun di Surabaya. Berbeda dengan Soekarno (nasionalis) dan Semaun (komunis) yang pernah menjadikan Cokroaminoto sebagai mentor dan inspirator gerakan, Kartosoewirjo setelah rampung berguru ditunjuk sebagai wakil PSII di Jawa Barat dan bahkan pernah bergabung ke Masyumi (7/8/1945). Kartosoewirjo banyak mendapatkan wawasan keagamaan secara otodidak dan dari para guru yang dijumpai di Malangbong Garut Jawa Barat.
Lazimnya sebuah gerakan sempalan muncul karena faktor ketidakterimaan terhadap reposisi suatu kelompok dalam tatanan baru. Ada semacam kecemburuan tidak dilibatkannya kelompok Kartosoewirjo dalam proses peletakan dasar-dasar bernegara pascakolonialisme. Deklarasi NII, menurut Deliar Noer juga karena kekecewaan terhadap isi Persetujuan Renville. Kartosoewirjo yang saat itu memimpin sebagian kekuatan bersenjata umat di daerah Jawa Barat tidak setuju dengan perjanjian Renville yaitu ditariknya kekuatan bersenjata Indonesia, termasuk Hizbullah dan Sabilillah dari daerah yang dianggap dikuasai Belanda yang sebagian wilayahnya adalah Jawa Barat.
Sementara itu, rakyat juga masih diselimuti kecemasan atas jatuhnya pemerintahan RI di Yogyakarta pada Desember 1948 karena aksi militer Belanda, dan ditangkapnya sejumlah tokoh penting dalam pemerintahan, sehingga terjadi kekosongan pemerintahan RI. Vacum of power seringkali memunculkan pikiran-pikiran liar untuk memanfaatkan kesempatan dengan memisahkan diri dari keseluruhan sistem yang sedang berlangsung. Dalam situasi semacam ini NII menemukan momentum dipermaklumkan.
Dalam konteks ini kental warna kebencian terhadap kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan berdirinya NII. NII Kartosoewirjo menetapkan dua tahap perjuangan revolusi. Pertama revolusi nasional, melawan penjajah Belanda yang sudah berhasil dilakukan pada proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kedua, revolusi sosial melawan pemerintahan Indonesia yang tidak berdasarkan Islam tetapi menganut sistem demokrasi dan Pancasila (Haluan Politik Islam, 1946).
Kartosoewirjo ditangkap hidup-hidup di gunung Geber Majalaya tahun 1962 setelah 13 tahun gerilya melawan TNI dan dieksekusi oleh regu tembak pada 5 September 1962 bersama lima anak buahnya. Situasi dan dinamika NII segera berubah antara diburu untuk dilenyapkan atau dijinakkan guna kepentingan politik baru seiring dengan pemberontakan PKI (gerakan 30 September 1965). Karena Orba akan segera menggelar pemilu bersaing dengan PKI maka anggota NII dijinakkan sebagai alat rahasia untuk memenangkan Golkar di wilayah Jabar khususnya. Pada tahun 1971 mereka dibiayai untuk mengadakan reuni eks-NII dan penyuluhan sekitar pemilu serta menjadikan PKI sebagai musuh bersama. Maka berlakulah prinsip ”musuh dari musuh adalah teman”.
Gagasan negara Islam tidak mati setelah Kartosoewirjo mangkat. Operasi inteljen untuk menjinakkan justru memicu gerakan neo-Darul Islam, dengan ragam faksi dan metode gerakan. Sempat terjadi pembelahan kedalam dua sel, yakni kelompok fillah (berjuang tanpa tanpa senjata) dan kelompok fisabilillah (yang tetap mengobarkan perang dengan ideologi iman, hijrah, dan jihad. Memang dalam sosiologi gerakan keagamaan biasanya berlaku dalil, tatkala pimpinan telah dianggap lemah dan lamban dalam melakukan gerakan maka kelompok militan akan tampil menyelamatkan etika kelompok dengan risiko memisahkan diri dari kelompok dominan.
Faksi NII mengalami pemendaran yang sangat kompleks. Di Garut misalnya masih ada Sensen Komara menjalankan Negara Islam Indonesia, meneruskan perjuangan ayahnya yang juga petinggi DI era Kartosoewirjo. Faksi Ajengan Masduki, 1979 (DI ansharulah dan akram). Faksi Abdullah Sungkar 1993 (mendirikan Jamaah Islamiyah). Faksi Adah Djaelani 1995. Faksi Tahmid Rahmad Basuki, 1999. Faksi KW-9 Al-Zaytun pimpinan Panji Gumilang 1998.
 
Cita-Cita NII dalam Arena Demokarsi
Gayuh dengan cita-cita NII lantaran kecewa dengan perjuangan tokoh muslim dalam merumuskan dasar negara, mimpi NII yang terus hidup juga selalu mendapat kipasan demografis muslim sebagai mayoritas. Secara statistik penduduk muslim di negeri ini mencapai 87%. Namun demikian pemeluk yang mayoritas itu memiliki orientasi keagamaan, ritual, politik, dan budaya yang berbeda-beda. Komposisi pemeluk sebagai mayoritas tersebut seringkali menjadi dasar tuntutan bagi pemberlakuan syariat, tuntutan penempatan Islam sebagai dasar negara hingga perjuangan pembentukan NII atau bentuk lain.
Tuntutan lain adalah sudah sewajarnya mayoritas muslim mendirikan negara Islam dengan segala institusi detailnya. Sementara yang lain mengatakan pentingnya penerapan nilai-nilai Islam dalam format substansi dalam bingkai sistem demokrasi. Dalam konteks itulah lalu muncul persoalan, apakah penerapan Islam itu harus dalam format negara dan undang-undang NII sebagaimana Kartosoewirjo atau mengusung nilai luhur dalam suatu sistem yang kompatibel dengan sistem pemerintahan demokrasi modern?
Jawaban terhadap pertanyaan itu beragam tergantung lingkungan sosial politik dan persepsi serta pemahaman terhadap situasi sosial dan arti kepemelukan secara statistik. Bagi yang mendukung negara Islam memiliki alasan sejarah tentang berdirinya berbagai kerajaan Islam di hampir seluruh sudut Tanah Air dari Aceh sampai Papua. Tentu saja ada alasan teologis, bahwa seorang muslim harus mengikuti segenap perilaku Nabi Muhammad dalam segala aspeknya baik yang bersifat privat maupun publik-bernegara.
Di lain pihak, tidak sedikit pula yang tidak mempermasalahkan bentuk negara atau dasar negara tetapi pada fungsi dan realisasi nilai-nilai luhur dan kemanusiaan yang pada satu sisi paralel dan kompatibel dengan sistem negara modern (Bilveer, 2007). Kelompok ini berpendapat bahwa suatu masyarakat bisa disebut menerapkan ajaran Islam dilihat dan diukur dari kualitas dan realitas kehidupan mereka. Kualitas itu meliputi seluruh aspek kehidupan sosial dan individual secara kasat mata walaupun tidak secara verbal dinyatakan sebagai negara Islam.
Dua pandangan tersebut berimplikasi dalam berbagai persoalan, termasuk tentang sikap terhadap demokrasi. Sedikitnya ada tiga pendapat yang berbeda dalam menyikapi hubungan demokrasi dengan Islam. Pertama, mereka yang menolak demokrasi dengan mengatasnamakan Islam. Mereka ini bependapat bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang bertentangan dan tidak akan bisa dipertemukan. Mereka beralasan: (1) Demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia sedangkan Islam berasal dari Allah. (2) Demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; sedangkan Islam mengatakan bahwa kekuasaan itu milik Allah. (3) Demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak, padahal belum tentu suara terbanyak merupakan kebenaran.
Dalam buku ini kelompok yang termasuk dalam paham ini adalah gerakan-gerakan fundamentalis muslim seperti HTI, JAT, laskar Jihad, dan MMI. Mereka menolak demokrasi karena dinilai tidak islami. Iklim kebebasan justru memungkinkan komunitas ini tetap eksis bahkan bebas menyuarakan aspirasi. Ada yang dengan lantang menyuarakan sistem khilafah sebagai untuk mengamandemen demokrasi. Ada pula yang memilik golput karena demokrasi dianggap biang perpecahan, demokrasi musibah bagi bangsa Indonesia.
Kedua, mereka yang pro-demokrasi secara moderat. Kelompok ini berpendapat bahwa ada yang positif dalam sistem demokrasi, dan hakikat dari demokrasi itu sendiri tidak bertentangan, bahkan bersesuaian, dengan ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa hakikat demokrasi itu adalah hak rakyat untuk memilih siapa pemimpinnya. Tidak boleh ada yang memaksa mereka untuk memilih pemimpin yang tidak mereka sukai, atau pemimpin zhalim, atau korup, yang merampas hak-hak mereka sebagai rakyat.
Substansi demokrasi ini berarti juga meniscayakan perlu adanya mekanisme dalam pemerintahan yang memungkinkan rakyat untuk melakukan fungsi kontrol atau pengawasan, juga evaluasi terhadap jalannya pemerintahan. Disamping perlu pula adanya mekanisme yang memungkinkan rakyat memberikan peringatan dan menasihati pemimpin apabila mereka menyimpang dari amanat yang diberikan kepada mereka; juga peringatan keras kepada pemimpin yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyatnya; bahkan memungkinkan rakyat untuk memakzulkannya dengan jalan damai. Gerakan dan organisasi tradisonal, modernis moderat, dan tarekat masuk dalam kategori ini.
            Ketiga, kelompok yang menerima demokrasi dengan opsi. Mereka menerima demokrasi tetapi dengan catatan pengecualian. Ada yang menghalalkan pemilu namun mengharamkan presiden perempuan dan pemimpin non-muslim. Ada juga yang memilih pemilu sebagai arena berjuang karena memberi peluang penerapan syariat Islam. Sementara ada juga yang menerima demokrasi karena mencegah bahaya yang lebih besar, yaitu mencegah kepemimpinan agama lain sehingga demokrasi diterima karena darurat.

Demokrasi sebagai Sasaran Antara
Pasca-Orde baru runtuh tahun 1998 masa reformasi ketika semua golongan masyarakat bebas mengemukakan aspirasinya dan membentuk kelompok dan partai, muncul lagi gagasan NII. Praktek demokrasi memunculkan fenomena baru tentang rivalitas gagasa konservatif NII. Fenomena demikian merupakan pengalaman berharga bagi aktivis gerakan Islam sehingga memunculkan fenomena lain yang lebih menarik yaitu pemanfaatan demokrasi bagi tujuan-tujuan yang dalam banyak hal berbeda atau bertentangan dengan ide dasar demokrasi itu sendiri.
Gagasan ini sepertinya tak pernah benar-benar lenyap dari kesadaran teologis dan ideologis pemeluk Islam di negeri ini. Kadang begitu kuat dan meluas menjadi wacana publik, tetapi sekali waktu tenggelam beredar secara diam-diam dari mulut ke mulut dari ruang bawah tanah. Pada saat yang lain kembali muncul secara terbuka dan mendadak dalam bentuk paling radikal dan keras yang bahkan membuat sebagian umat Islam mengecamnya. Karena itu, kuat diduga NII sengaja dimainkan untuk dalam situasi politik tertentu dan untuk tujuan kelompok tertentu pula. Eksplorasi yang amat memuaskan tentang bangkitnya gagasan negara Islam telah dilakukan oleh Haedar Nashir dalam Islam Syariat (2008). Bahwa perjuang penegakan negara Islam melalui jalur atas dan dan jalur bawah. Sejauh ini tidak ada buku lain yang setara dengan buku dari desertasi tersebut.
Fenomena lain yang menarik dicermati era reformasi adalah munculnya gerakan-gerakan politik yang menumpang demokrasi. Mereka menerima demokrasi sebagai suatu keharusan sejarah yang harus dilalui. Karena itu demokrasi merupakan rumah singgah sementara yang dapat mengantarkan cita-cita utama negara Islam atau negara berdasar syariah Islam. Perjuangan penegakan hukum Islam harus melalui mekanisme yang berlaku yaitu dengan mendirikan partai politik, menempati posisi pengambil kebijakan, menerbitan undang-undang dan usaha-usaha lain yang konstitusional. Partai-partai Islam semacam PKS termasuk dalam kategori ini (hlm. 210). Jamaah Tablig, Al-Irsyad, Hidayatullah ormas yang dekat dengan sikap ini. Rekaman tentang keganjilan-keganjilan ekspresi dalam era demokrasi ini seputar cita-cita negara Islam ini dengan lugas dan provokatif diuraikan dalam buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (2009).
Pendek kata, cita-cita tegaknya negara Islam di Indonesia masih terus dikobarkan dengan beragam jalan. Sebagian berusaha mewujudkan dengan jalan jihad fisik. Sebagian dengan jalan memanfaatkan konstitusi, dan sebagian lain dengan jalur kultural dan pendidikan. Suka atau tidak suka, demokrasi telah menjadi bagian penting dalam pengelolaan bangsa yang mayoritas muslim ini. Yang menarik dari proses demokratisasi di Indonesia, bukan hanya bahwa bangsa ini berhasil bangkit dari kungkungan politik otoritarian dan membangun sistem demokrasi di negeri Muslim terbesar di planet ini, melainkan juga fakta bahwa aktor-aktor utama dalam proses demokratisasi tersebut adalah para tokoh dan organisasi Muslim.
Fakta keras ini yang kemudian membuat para pengamat dan advokat demokrasi menobatkan Indonesia—negeri Muslim terbesar di planet ini—sebagai ‘the shining example’ demokrasi di dunia Islam, sekaligus mengangkat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Ini sekaligus mematahkan pandangan umum di kalangan sarjana dan pengamat Barat bahwa Islam memiliki banyak pertentangan dengan demokrasi, dan karena itu negeri Muslim adalah lahan tandus bagi proses demokratisasi.
            Apa yang terjadi di Indonesia lebih dari satu daswarsa lalu kini terulang di negara otoritarian dan monarki di negara-negara muslim di kawasan Arab-Afrika. Sekurang-kurangnya di sana akan terjadi pergumulan baru antara kekuatan-kekuatan Islam baik yang pro maupun yang kontra demokrasi.

Penutup
Wacana yang mengemuka belakangan adalah ideologi pendirian negara Islam yang tak pernah padam itu tertuduh(?) sebagai biang kecemasan dalam masyarakat. Orang tua mencemaskan anaknya yang kuliah semakin ”saleh”, dermawan mencemaskan pencari sumbangan, bupati mencemaskan sekolah yang tidak mau menyelenggarakan upacara, para veteran mencemaskan anak TK yang tidak hafal pancasila dan lagu Indonesia Raya. Semua kecemasan disinyalir bermuara pada ideologi emoh NKRI. Dalam berdemokrasi ideologi dan cita-cita apa saja boleh ditawarkan asalkan dengan mempertimbangkan konstitusi yang telah disepakati dan menjaga ketertiban umum dalam bingkai hukum yang berlaku. Cita-cita negara Islam, masyarakat Islam, sekuler, khilafah islamiyah, dan lain-lain bisa menjadi bagian dari keseluruhan model pilihan. 
 Menutup tulisan ini ada baiknya disimak kegelisahan banyak pihak yang terwakili dalam kutipan berikut:
”Mekarnya NII, terorisme, dan radikalisme menghentak kesadaran semua pihak. Gerakan seperti ini tidak lah sederhana. Gerakan yang cenderung radikal ini biasanya lahir dalam kompleksitas masalah yang ruwet. Termasuk dalam ranah keagamaan. Gerkan ini muncul dari situasi politik, ekonomi dan budaya yang penuh antagonis, karena itu solusinya pun tidak dapat parsial, tetapi memerlukan pendekatan yang menyeluruh” (Suara Muhammadiyah, 1-15 Juni 2011, hlm.6).

Minggu, 17 April 2011

Sehat Jasmani


Sehat Jasmani


Hampir tidak ada yang menyangkal bahwa kesehatan merupakan aset kekayaan yang nilainya tiada tara. Ketika Allah sedang menguji dengan mencabut nikmat kesehatan dari tubuh seseorang, maka orang tersebut segera mencari pengobatan meskipun dengan biaya yang mahal dan tempat yang jauh sekalipun. Sayangnya, hanya sedikit orang yang penduli dan memelihara nikmat kesehatan.
Maka tidak berlebihan bila Rasulullah SAW pernah bersabda ”Dua nikmat yang sering kali manusia melupakan oleh keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang”. (HR Bukhari).
Dalam hadis lain juga diingatkan ”jagalah kesehatanmu sebelum datang sakitmu”. Kesehatan disini lebih dimaknai secara fisik atau keshatan tubuh secara lahir. Menjaga kesehatan fisik atau jasmani tidak boleh diabaikan sama halnya dengan menjaga kesehatan batin.
Kesempurnaan manusia selain terletak pada anugerah kekuatan akal juga karena kekuatan dan kesehatan jasmaninya. Dengan jasmani yang sehat dan kuat manusia dapat menyelesaikan berbagai urusan, melaksanakan ibadah dengan baik dan memberi pertolongan kepada orang lain, dan sebagainya.
Jika fisik lebih sehat dan kuat maka lebih banyak yang dapat diperbuat dan akan lebih baik lagi kualitas keimanan seseorang. Misalnya, sujud dengan kepala pusing itu berbeda dengan sujud dalam keadaan sehat, tahajud dalam keadaan fit akan lebih nikmat daripada tahajud dalam keadaan sakit.
Menjaga kesehatan fisik dapat dilakukan dengan berolahraga dan mengatur pola makan yang benar. Rasulullah SAW sering menyempatkan diri untuk berolahraga. Terkadang beliau berolahraga sambil bermain dengan anak-anaknya. Kaum muslim yang akan berlaga di medan perang berjihad melawan kaum kafir juga dipilih yang memiliki kekuatan dan kesehatan fisik prima.
Beliau juga memerintahkan agar belajar dan mengajarkan kepada anak-anak memanah,  berlari, renang dan menunggang kuda. Saat ini beragam bentuk olahraga dikenal masyarakat seperti sepak bola, voly, silat, tenis, bersepeda dan sebagainya.
Menjaga kesehatan dapat dilakukan dengan mengatur pola makan. Meski tampak sederhana namun ternyata pola makan sangat berpengaruh dalam kesehatan. Sebagaimana dicontohkan, Rasulullah SAW sangat memperhatikan pola makan dan beliau terbukti memiliki tubuh yang sehat, kuat dan bugar.
Dikisahkan ketika Kaisar Romawi mengirimkan bantuan dokter ke Madinah, ternyata selama setahun dokter tersebut kesulitan menemukan orang yang sakit. Dokter tersebut bertanya tentang rahasia kaum muslimin yang sangat jarang mengalami sakit. Rasulullah saw bersabda, “Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali sudah betul-betul lapar dan apabila makan kami berhenti sebelum kekenyangan.”
 Seumur hidupnya, Rasulullah hanya pernah mengalami sakit dua kali sakit. Pertama, ketika diracun oleh seorang wanita Yahudi yang menghidangkan makanan kepada Rasulullah saw di Madinah. Kedua, sakit ketika menjelang wafatnya. “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah dalam setiap amal kebaikan“ (HR Muslim).

Selasa, 12 April 2011

Ulama dan Umara

Ulama dan Umara dalam Sejarah Islam
Perspektif normatif tentang (hubungan) ulama dan umara dalam Islam nyaris tanpa persoalan. Disepakati bahwa kedua pemilik otoritas tersebut merupakan paduan yang utuh, tidak terpisah, dan mustahil dipertentangkan. Rujukan normatif tekstualnya adalah keharusan umat mentaati pemimpin atau ulil amri (QS an-Nisa’/4: 59) dan pribadi Nabi sendiri sebagai seorang Rasul juga sekaligus sebagai pemimpin pemerintahan. Dengan kalimat lain, pada dasarnya Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara.

Lain halnya bila dengan cermat mengulas kembali manifestasi Islam dalam pemerintahan yang menyejarah pascakenabian yang membentang hingga masyarakat muslim kontemporer. Dalam bentangan sejarah kaum muslim yang panjang dan luas, ulama dan umara tidak hanya dapat dibedakan, lebih dari itu keduanya tidak jarang saling silang sebagai pemilik otoritas kepemimpinan dalam masyarakat muslim. Oleh karena itu, persoalan posisi dan peran ulama dan umara dalam masyarakat muslim sebenarnya merupakan  gejala belakangan, dengan segala pengaruh dinamika global dan lokal.
Mengikuti formulasi Obert Voll (1997) tentang kontinuitas dan perubahan pemerintahan Islam telah terjadi empat periode pemerintahan, yaitu periode komunitas ummat (masa Nabi dan sahabat), periode kekhalifahan, periode kesultanan dan kerajaan, dan periode negara-bangsa. Pada keempat periode tersebut dapat dilihat hubungan ulama dan umara terjalin secara dinamis.
Dalam sejarah, sejak awal lahirnya agama Islam tidak ada pemisahan antara kewajiban keagamaan dan kewajiban kenegaraan. Pada masa Nabi baik kepemimpinan keagamaan maupun kepemimpinan kenegaraan bersatu pada diri beliau. Demikian juga halnya semasa para Khalifah mengganti Nabi. Komunitas muslim yang masih terbatas lazim dengan sebutan sebagai ummah. Mungkin sekali hal itu terjadi karena masyarakatnya masih lebih sederhana dalam arti belum banyak lembaga dan  pranata yang majemuk sebagaimana dalam masyarakat mutakhir. Bahkan pengertian tentang  Negara saja tumbuh secara pelan-pelan dari masyarakat kesukuan atau federasi kesukuan, kemudian berkembang menjadi umat dan lambat laun menjelma menjadi negara.
Selanjutnya setelah Nabi meninggal muncul persoalan tentang sifat dasar kepemimpinan umat. Tampaknya Nabi sendiri tidak secara tegas menetapkan siapa penggantinya. Sesudah  Nabi,  istilah  yang  banyak  dipakai  untuk menyebut pimpinan  negara  adalah  khalifah. Namun persoalan kepemimpiinan segera tertasi setelah Abu Bakar Ash-Shidiq terpilih sebagai pemimpin kaum muslim dan masyarakat Makah-Medinah. Secara umum tidak terjadi polaritas ulama-umara sampai setidaknya pada kekhalifahan (khulafaurrasyidin), meski kadang karena tuntutan perluasan pemerintahan Islam daerah perluasan ditentukan secara pragmatik dengan catatan pengakuan atas khalifah sebagai pemimpin umat dibawah naungan Al-Quran dan sunnah Nabi.
Persoalan peran dan posisi ulama dan umara mulai terlihat nampak jelas pada masa pemerintahan pasca-khalifah yang empat (khulafaurrasyidin). Dalam rentetan sejarah Islam, sikap penguasa—kecuali empat khalifah pertama dan Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umawiyah—dinilai membias dari nilai-nilai Islam. Karena itu, banyak ulama yang menjauhi penguasa, bahkan melakukan penentangan terbuka seperti yang dilakukan Imam Ahmad Bin Hanbal terhadap Khalifah pada zamannya.
Realitas kekhalifahan yang tidak selalu terbimbing dibawah wahyu bahkan memengaruhi pemikiran Al-Ghazali sehingga pesimis terhadap kesatuan ulama dan umara. Imam al-Ghazali menyatakan tidak pantas dan tidak terpuji ulama mendekatkan diri kepada penguasa. Ulama yang bersentuhan dengan dinding kekuasaan dikategorikan oleh Sang Hujjatul Islam sebagai ulama syu’ (buruk). Al-Ghazali hidup di masa kekuasaan Bani Abbasiah, di mana tidak sedikit penguasa berusaha mengkoptasi ulama untuk melanggengkan kekuasaan dan mendukung kebijakan penguasa.
            Seiring dengan perluasan wilayah kekuasaan Islam, istilah sultan digunakan untuk menyebut pemimpin pertama kalinya diberikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid kepada para menterinya. Sultan diperuntukkan bagi penguasa-penguasa daerah yang merdeka atau takluk di bawah kekuasaan Islam. Pada masa kesultanan Seljuk, istilah sultan lantas dipakai sebagai gelar untuk pimpinan politik dan militer tertinggi, sementara istilah Khalifah lebih  terbatas  kepada  pimpinan  keagamaan saja. Hal ini menunjukkan telah merosotnya istilah Khalifah yang sudah mulai sejak abad-abad akhir dari Khalifah  Abbasiah di Baghdad. Dan dengan jatuhnya Baghdad pada tahun 1258, maka gelar Khalifah hanyalah semacam gelar kehormatan tanpa wewenang politik.
Berikutnya, perluasan masyarakat muslim ke berbagai penjuru dunia pemerintahannya mengambil bentuk seseuai dengan warisan lokal antara lain dalam bentuk kerajaan dan negara-bangsa. Dalam bentuk kerajaan polarisasi peran antara ulama dan umara semakin jelas dapat dibedakan Perkembangan masyarakat bisa menyebabkan terpisahnya kepemimpinan agama dan kepemimpinan negara karena berbagai alasan. Yang pertama tentu saja karena harapan untuk memperoleh pimpinan  politik  yang  saleh dan religius serta memperoleh dukungan yang luas dari umat tidak berhasil. Yang  kedua,  mungkin juga karena makin majemuknya masyarakat dan makin luasnya kekuasaan negara.

Peran dan posisi
Perubahan bentuk pemerintahan dari ummah menjadi negara-bangsa di kalangan kaum muslim dengan sendirinya berimplikasi pada dikotomi peran-peran yang dimainkan kedua pemilik otoritas tersebut. Ulama dan umara menjadi dua jenis kekuasaan yang sulit disatukan dalam satu tangan. Kata “ulama” bentuk jamak (plural) dari “’alim” yang artinya orang mengetahui. Jadi, ulama—mengikuti kaidah linguistik (bahasa)—adalah orang-orang yang mengetahui. Kata ”ulama” mengalami penciutan makna dan tidak bermakna jamak lagi, tapi tunggal. Yaitu orang yang hanya mengetahui dan memahami ilmu agama secara mendalam.
Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, ulama disandang oleh siapa saja yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang pengetahuan, dan dengan keahliannya itu memiliki otoritas untuk memimpin dan mengarahkan gerak masyarakat (umat). Termasuk dalam kelompok ini adalah para intelektual atau cendekiawan yang berbeda dengan para pemimpin negara. Namun Ibnu Khaldun yang hidup pada akad ke-14 yang mana kekuasan Islam mulai runtuh tetap membedakan ulama dan umara (penguasa).
Dalam sejarah peran dan posisi ulama seringkali tersubordinasi oleh peran umara. Fatwa para ulama lantas menjadi semacam sumber legitimasi. Karena itulah terdengar kisah tentang usaha umara untuk ”marangkul” ulama yang berpengaruh, dengan memberinya jabatan sebagai qadli atau mufti negara. Lalu ada banyak cerita tentang ulama besar  yang  menolak  tawaran  raja dan  kemudian mengalami siksaan. Dalam bahasa sekarang  seakan-akan  ulama  besar  ini menjadi  semacam  ”tokoh oposisi” yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan. Kritisisme ulama terhadap pemerintahan telah menjadi bagian menyatu dalam setiap zaman.
Lebih-lebih pada saat ini, ketika sistem demokrasi merambah di kawasan negara-negara muslim, jarak antara umara dan ulama diperbesar oleh banyak faktor yang semakin kompleks. Masyarakat telah jauh mengalami proses deferensiasi dan para ulama seakan-akan hanya mengkhususkan diri dalam soal-soal keagamaan. Juga perkembangan ilmu pengetahuan modern menyebabkan perbedaan bidang antara ilmuwan dan ulama walaupun secara bahasa sebenarnya kedua kata itu masih searti. Sekalipun demikian pengaruh ulama pada masyarakat masih tetap besar sehingga fatwa mereka sedikit  banyak masih mempengaruhi legitimasi pemerintahan. Bagaimanapun ulama masih punya peranan politik. Dalam bahasa yang lebih pragmatis, senantiasa ada usaha-usaha untuk merangkul para ulama; baik itu dilakukan oleh kekuatan politik penguasa, atau golongan-golongan lain yang ingin turut serta dalam pengambilan keputusan politik.
Diantara ulama ada yang ingin tetap merdeka dari kekuasaan sambil memerankan fungsi sebagai pengawal moralitas masyarakat. Meski begitu ulama tetap kokoh dalam bingkai normatif yang ketat ketika berhadapan dengan umara sebagai ulil amri yang wajib ditaati sepanjang tidak mengajak maksiat. Ulil amri menurut Ibnu Taimiyah, adalah semua orang yang memberi bimbingan dan mengatur kehidupan baik itu raja, ulama, ilmuwan, dan para birokrat. Dikisahkan, ada seorang perempuan yang berani bertanya kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq: ”Apa yang menjamin kita dalam urusan taat kepada negara?” Abu Bakar menjawab: ”Selama pemimpin kalian berlaku lurus”. Artinya, kritisisme peran ulama sesungguhnya akan berhenti sepanjang umara memenuhi amanah yang diemban. Mutohharun Jinan, pengasuh Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta: Sumber: Suara Muhammadiyah 04/2011

Jumat, 04 Maret 2011

Rotasi Kekuasaan

Runtuhnya kekuasaan
Mutohharun Jinan

            Alquran dengan tandas mengisahkan kehidupan peradaban bangsa-bangsa dan para penguasa terdahulu. Diantara peradaban bangsa-bangsa ada yang hancur luluh lantak (misal kaum Tsamud) ada juga bangsa yang makmur (negeri Saba’). Diantara penguasa yang dikisahkan ada penguasa yang jatuh tersungkur karena kedzalimannya (Qarun dan Firaun) ada pula penguasa yang kokoh lantaran kearifan dan keadilannya (Dzul Qarnain).
            Kepunahan peradaban dan keruntuhan kekuasaan para raja dikisahkan Alquran agar supaya manusia yang datang belakangan mengambil ibrah dan pelajaran sehingga tidak bernasib sama dengan pendahulunya. Benang merah penyebab jatuhnya kekuasaan dimana-mana nyaris sama, yakni mengabaikan kewajiban, menelantarkan hak rakyat, tamak, dan lupa diri.
            Namun agaknya, entah secara disengaja atau tidak, dalam bentangan sejarah kekuasaan kaum muslim sampai detik ini, banyak pemimpin yang memilih jalan menyimpang dan enggan mengambil pelajaran yang diberitakan kitab sucinya. Sejak abad pertengahan grafik kekuasaan bangsa-bangsa muslim bergerak turun menuju dasar peradaban dunia.
            Sejarawan dan sosiolog muslim terbesar, Ibnu Khaldun, dalam bukunya Muqaddimah pada abad ke-14 telah menemukan tesis-tesis penting seputar kebangkrutan kekuasaan negeri-negeri muslim.
            Disebutkan bahwa masyarakat dan negara yang kuat berdiri diatas tiga pilar. Pertama, solidaritas kebangsaan yang kokoh, di mana sikap dan perilaku mendzalimi, membenci dan menjatuhkan satu sama lain bertukar menjadi saling memberi, saling menghargai, dan saling melindungi. Kedua, kuantitas dan kualitas sumberdaya manusianya. Ketiga, pemimpin dan rakyatnya selalu optimis dan mau terus-menerus bekerja keras.
            Selanjutnya, menurut Ibnu Khaldun yang memandang proses sejarah dalam kerangka siklus, kekuasaan akan mengalami kejatuhan. Runtuhnya suatu imperium biasanya diawali dengan kedzaliman pemerintah yang tidak lagi memedulikan hak dan kesejahteraan rakyatnya serta sikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Akibatnya timbul rasa ketidakpuasan, kebencian dan ketidakpedulian rakyat terhadap hukum dan aturan yang ada.
            Situasi demikian akan semakin runyam bila terjadi perpecahan di kalangan elite penguasa yang kerap berbuntut disintegrasi sosial dan munculnya pemimpin oportunis. Yang paling menarik adalah observasi Ibnu Khaldun bahwa ketika negara sudah mencapai puncak kejayaan, kemakmuran dan kedamaian, maka pemerintah maupun rakyatnya cenderung menjadi tamak dan melampaui batas dalam menikmati apa yang mereka miliki dan kuasai. Itulah petanda kejatuhan kekuasaan tidak terelakkan lagi.
            Secara duniawi kekuasaan merupakan kontrak sosial pemimpin dengan rakyatnya. Kekuasaan dibangun untuk memuliakan rakyatnya. Dalam Islam, hakekat kekuasaan dan kepemimpinan tidak hanya kontrak sesama manusia, tetapi juga amanah yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah, Sang Pemilik mutlak segenap kekuasaan.
            Oleh karenanya, kaum muslim dituntut untuk sadar dan selalu bermunajat, ”Ya Allah Sang Pemilik kekuasaan, engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan”(QS Ali Imron: 26).