Berlatih Jadi Pendengar
(Solopos, Jumat, 5 Februari 2016)
Jadilah pendengar yang baik. Pesan ini
sudah sangat dikenal dan menjadi falsafah hidup sebagian orang, meski tidak
diketahui dari mana asalnya dan siapa yang pertama menyampaikan. Pesan tersebut
merupakan perintah bukan larangan. Rasanya aneh jika ada orang yang menasehati
“jangan banyak mendengar”.
Berbeda dengan pesan yang terkait
dengan akhlak berbicara, yang narasi pesannya lebih berbentuk larangan, misal,
“jangan banyak bicara”. Kalau nasehat berupa perintah, isinya juga mengurangi
pembicaraan, misalnya “jagalah mulutmu”. Terdengar aneh bila nasehat dalam
bertutur kata dengan perintah supaya banyak bicara.
Para sesepuh menggunakan ilustrasi
jumlah mulut dan telinga untuk menekankan perlunya menjadi pendengar yang baik.
Bahwa pada setiap orang Allah menciptakan satu mulut dan dua telinga. Maknanya,
satu mulut supaya manusia itu menyedikitkan bicara, tidak mengumbar banyak
kata. Dua telinga artinya supaya manusia lebih banyak mendengar, merenungi
nasehat dan masukan dari orang lain.
Sejumlah ayat Alquran mendahulukan
pendengaran sebagai alat yang pertama-tama merekam pengetahuan sebagai sarana
bersyukur. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui apa-apa. Dijadikan untuk kamu pendengaran, penglihatan, dan kalbu
agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl/16: 78).
Menjadi pendengar yang baik dalam
tata pergaulan memang bukan perkara sederhana. Kebanyakan orang lebih suka
menjadi pembicara dari pada menjadi pendengar yang baik. Perhatikan dalam satu majelis atau forum pertemuan, akan
terlihat orang yang tidak bisa jadi pendengar yang baik. Bahkan ada
yang ngobrol sendiri di saat orang lain berbicara di podium. Sungguh hal ini merupakan kebiasaan yang kurang pantas jika dilihat dari sudut etika.
Untuk menjadi pendengar yang baik dibutuhkan
kondisi psikologis yang stabil dan suasana hati yang hening agar dapat
mendengarkan dengan baik dari lawan bicaranya. Selain itu, juga mensyaratkan
adanya kesediaan untuk mengendalikan ego, menerima dan memberi ruang orang lain
untuk menyampaikan maksudnya.
Dalam tradisi pendidikan di
masyarakat pada umumnya dan pendidikan keagamaan baik di sekolah maupun di
pesantren nyaris tidak pernah diajarkan bagaimana siswa dididik menjadi
pendengar yang baik. Rasanya jarang sekali anak-anak selama sekolah memeroleh latihan khusus
bagaimana mendengarkan. Padahal ini sangat penting, baik dalam pergaulan maupun
proses pembelajaran. Yang sering diajarkan adalah pandai berbicara melalui lomba berpidato,
lomba ceramah dan lomba lain yang lebih banyak mengasah keterampilan menjadi
orator.
Akibatnya setelah dewasa menjadi
sosok yang berkepribadian asertif, cenderung mendominasi dengan banyak bicara
tanpa membiasakan diri untuk mendengarkan orang lain. Oleh karena itu sangat
mungkin bila ada dua orang atau sekelompok orang yang kelihatannya asyik saling
berbicara, namun sesungguhnya masing-masing tidak mendengarkan dengan baik,
karena yang lebih menonjol adalah ego masing-masing untuk berbicara dan ingin
didengarkan.
Sejatinya beragam tuntunan ibadah
dalam Islam seperti doa, puasa, zikir, salat merupakan ibadah yang mengandung
pelajaran untuk membiasakan diri menjadi pendengar yang baik. Seorang muslim
dianjurkan untuk berzikir atau salat dengan khusuk, suara yang lembut, dan lebih
memperhatikan suara hati atau mendengarkan suaranya sendiri.
Bukankah ketika berdoa dengan
susana batin yang khusuk sebenarnya sedang menghadap Allah Yang Maha Mendengar
dan Yang Maha Berbicara? Dengan demikian, sejatinya tatkala sekelompok orang berdoa
atau berzikir adalah sedang berlatih dan berlomba untuk menjadi pendengar yang
terbaik.
Mutohharun Jinan, dosen di Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar