Selasa, 01 Maret 2016

MENJADI PENDENGAR YANG BAIK



Berlatih Jadi Pendengar
(Solopos, Jumat, 5 Februari 2016)

Jadilah pendengar yang baik. Pesan ini sudah sangat dikenal dan menjadi falsafah hidup sebagian orang, meski tidak diketahui dari mana asalnya dan siapa yang pertama menyampaikan. Pesan tersebut merupakan perintah bukan larangan. Rasanya aneh jika ada orang yang menasehati “jangan banyak mendengar”.
Berbeda dengan pesan yang terkait dengan akhlak berbicara, yang narasi pesannya lebih berbentuk larangan, misal, “jangan banyak bicara”. Kalau nasehat berupa perintah, isinya juga mengurangi pembicaraan, misalnya “jagalah mulutmu”. Terdengar aneh bila nasehat dalam bertutur kata dengan perintah supaya banyak bicara.
Para sesepuh menggunakan ilustrasi jumlah mulut dan telinga untuk menekankan perlunya menjadi pendengar yang baik. Bahwa pada setiap orang Allah menciptakan satu mulut dan dua telinga. Maknanya, satu mulut supaya manusia itu menyedikitkan bicara, tidak mengumbar banyak kata. Dua telinga artinya supaya manusia lebih banyak mendengar, merenungi nasehat dan masukan dari orang lain.
Sejumlah ayat Alquran mendahulukan pendengaran sebagai alat yang pertama-tama merekam pengetahuan sebagai sarana bersyukur. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Dijadikan untuk kamu pendengaran, penglihatan, dan kalbu agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl/16: 78).

 
Menjadi pendengar yang baik dalam tata pergaulan memang bukan perkara sederhana. Kebanyakan orang lebih suka menjadi pembicara dari pada menjadi pendengar yang baik. Perhatikan dalam satu majelis atau forum pertemuan, akan terlihat orang yang tidak bisa jadi pendengar yang baik. Bahkan ada yang ngobrol sendiri di saat orang lain berbicara di podium. Sungguh hal ini merupakan kebiasaan yang kurang pantas jika dilihat dari sudut etika.
Untuk menjadi pendengar yang baik dibutuhkan kondisi psikologis yang stabil dan suasana hati yang hening agar dapat mendengarkan dengan baik dari lawan bicaranya. Selain itu, juga mensyaratkan adanya kesediaan untuk mengendalikan ego, menerima dan memberi ruang orang lain untuk menyampaikan maksudnya.
Dalam tradisi pendidikan di masyarakat pada umumnya dan pendidikan keagamaan baik di sekolah maupun di pesantren nyaris tidak pernah diajarkan bagaimana siswa dididik menjadi pendengar yang baik. Rasanya jarang sekali anak-anak selama sekolah memeroleh latihan khusus bagaimana mendengarkan. Padahal ini sangat penting, baik dalam pergaulan maupun proses pembelajaran. Yang sering diajarkan adalah pandai berbicara melalui lomba berpidato, lomba ceramah dan lomba lain yang lebih banyak mengasah keterampilan menjadi orator.
Akibatnya setelah dewasa menjadi sosok yang berkepribadian asertif, cenderung mendominasi dengan banyak bicara tanpa membiasakan diri untuk mendengarkan orang lain. Oleh karena itu sangat mungkin bila ada dua orang atau sekelompok orang yang kelihatannya asyik saling berbicara, namun sesungguhnya masing-masing tidak mendengarkan dengan baik, karena yang lebih menonjol adalah ego masing-masing untuk berbicara dan ingin didengarkan.
Sejatinya beragam tuntunan ibadah dalam Islam seperti doa, puasa, zikir, salat merupakan ibadah yang mengandung pelajaran untuk membiasakan diri menjadi pendengar yang baik. Seorang muslim dianjurkan untuk berzikir atau salat dengan khusuk, suara yang lembut, dan lebih memperhatikan suara hati atau mendengarkan suaranya sendiri.
Bukankah ketika berdoa dengan susana batin yang khusuk sebenarnya sedang menghadap Allah Yang Maha Mendengar dan Yang Maha Berbicara? Dengan demikian, sejatinya tatkala sekelompok orang berdoa atau berzikir adalah sedang berlatih dan berlomba untuk menjadi pendengar yang terbaik.
Mutohharun Jinan, dosen di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

Tidak ada komentar: