Sabtu, 23 Juli 2011

Mendidik Hati Nurani

Adakah sesuatu yang pandai memberi nasehat selain guru dan orang tua? Adakah tempat bertanya tentang kebaikan dan keburukan selain sahabat karib? Jawabannya tentu ada, yaitu hati nurani.
Dalam satu riwayat disebutkan Rasulullah SAW bersabda: ”Hai Wabishah, bertanyalah kepada hati nuranimu sendiri, kebaikan adalah sesuatu yang jika kau lakukan jiwamu merasa tenang, hati nurani-mu pun merasa tentram. Sedangkan  keburukan  adalah  sesuatu  yang  jika  kau lakukan jiwamu bergejolak dan hati nuranimu berdebar-debar, meskipun  orang banyak memberi  tahu  kepadamu (lain dari yang kau rasakan)” (HR. Ahmad).
Selain Alquran dan Sunnah, hati nurani manusia yang bersih juga dapat dijadikan sebagai sumber penilai perbuatan manusia. Sesuai dengan fitrahnya yang cenderung kepada kebenaran dan kebaikan, manusia  dikaruniai hati nurani yang dapat  membedakan antara  hal  yang baik dan yang buruk.
Karena itu, setiap orang yang akan melakukan perbuatan pada dasarnya telah disensor oleh nuraninya sendiri. Sensor itu kemudian menginformasikan apakah perbuatan yang akan dilakukan tersebut baik atau buruk dan benar atau salah.
Ada sebagian orang yang sering melawan suara hati nuraninya sendiri. Orang semacam ini lebih banyak dikuasai oleh nafsu buruk sehingga cenderung melawan nasehat baik dan benar dari hati nuraninya. Dorongan-dorongan lahiriyah sering kali mengalahkan kehendak terdalam dirinya.
Raja Ali Haji, dalam karya termasyhur Gurindam Dua Belas, pada pasal keempat bertutur: ”Hati itu kerajaan di dalam tubuh, jikalau zalim segala anggota pun rubuh”. Hati yang zalim adalah hati yang tertutup oleh nafsu kemaksiatan.
Sementara, ada juga sebagian orang yang sangat taat dan patuh dengan suara nuraninya sendiri sehingga perbuatannya terkendali dan tidak terpengaruh oleh hal-hal yang berada di luar dirinya. Sikap dan perilaku yang muncul adalah disiplin, amanah, dan jujur dalam setiap pekerjaan dan tugas-tugas menjadi bagian dari sikap hidupnya sehari-hari.
Beberapa waktu lalu terdengar kasus tentang dilema kejujuran dalam dunia pendidikan, dimana seorang murid menolak untuk berbuat tidak jujur atas perintah gurunya. Barang kali inilah  contoh paling telanjang pertarungan antara hati nurani dan dorongan nafsu untuk tujuan lahiriah semata.
Seorang guru menyuruh muridnya berlaku tidak jujur bukan karena tidak tahu perbuatan itu salah atau keliru dalam mendidik. Begitu juga tujuan guru untuk kebaikan,  yaitu meluluskan semua murid dan menyelamatkan nama baik sekolah. Tekanan dan dorongan-dorongan dari luar begitu kuat berpengaruh sehingga mengorbankan hakekat seluruh proses pendidikan itu sendiri, yaitu mendidik hati nurani.
Dalam Islam, mendidik hati nurani sejatinya adalah mendidik untuk kembali kepada dasar hidup, yaitu ketaqwaan kepada Allah. Ketaqwaan dalam arti kesadaran akan kehadiran Allah di setiap saat dan tempat. Kehadiran itu akan membimbing kepada perilaku baik dan akhlak yang mulia, karena menyadari bahwa Allah hanya ridha kepada kebaikan dan kejujuran, sebaliknya tidak ridha pada keburukan dan  kepalsuan.
Mutohharun Jinan, pengasuh Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta
(Sumber: Solopos, 15 Juli 2011)