Selasa, 05 Juni 2012

DIALOG HORIZONTAL ALA MUHAMMADIYAH


Dialog Horizontal Muhammadiyah

Oleh Mutohharun Jinan

Sebagai salah satu kekuatan sosial-politik bangsa Indonesia, peran Muhammadiyah tidak bisa diabaikan dalam upaya membangun kerukunan dan merajut harmoni bangsa. Visi toleran dan semangat perukunan kebangsaan selalu tampak menonjol dalam derap langkah perjalanan gerakan ini. Perjalanan panjang Muhammadiyah sejak tahun 1912 menjadi "ruang pergumulan" yang cukup berarti dalam mendewasakan bangsa Indonesia dan menganyam harmoni keagamaan dan kebangsaan.
Secara internal Muhammadiyah juga menunjukkan sikap bijak sekaligus liat dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi pada setiap zaman dilalui. Dalam waktu yang sama, secara eksternal, juga turut menjadi bagian penting perjalanan bangsa dengan segala persoalan yang menyertainya. Diantara yang perlu mendapat apresiasi adalah kemampuan Muhammadiyah dalam menyikapi perbedaan dengan warga atau kelompok lain dalam bingkai kemajuan dan kebangsaan.
Dalam tulisan ini akan dikemukakan dua kasus bagaimana gerakan ini merespons masalah sensitif dan mendasar yang sering kali menjadi ancaman retaknya anyaman harmoni keagamaan dan kebangsaan, yaitu respons terhadap penetrasi agama-agama lain (utamanya misi Kristen) sebagai represesntasi sikap Muhamadiyah dalam hubungan antaragama dan respons terhadap gerakan Ahmadiyah sebagai representasi sikapnya dalam konteks keragaman intraagama. Dua persoalan tersebut hingga saat ini masih menjadi momok sekaligus parameter keberhasilan bagi cita-cita pembentukan berbangsa yang beradab.
Di Indonesia wacana mengenai hubungan antaragama tentu bukanlah hal yang sama sekali baru. Sejak awal mula bangsa ini memiliki kekayaan ragam agama. Tidak sulit kita jumpai manuskrip-manuskrip kuno, tokoh-tokoh, institusi dan bahkan dokumen negara tentang pentingnya membangun hubungan antaragama. Namun demikian, ketegangan dan koflik antaragama tetap saja mencuat di setiap zaman, terlebih bila menengok kebelakang sejarah hubungan antaragama (utamanya Islam-Kristen) di Indonesia, tidak selalu berjalan mulus. Hubungan antaragama sering kali diwarnai ketegangan dan konflik, baik yang disebabkan oleh persoalan sentimen keagamaan maupun hanya imbas dari masalah sosial dan politik.
Semenjak masuknya agama Kristen di Indonesia, kerukunan antarumat beragama lebih diwarnai oleh konflik antara Islam dan Kristen, karena agama Kristen tersiar bersamaan dengan pemerintahan kolonial Belanda yang selalu merugikan umat Islam. Kerjasama misionaris Kristen dengan kolonial semakin menambah kecurigaan dan kebencian di kalangan umat Islam terhadap Kristen sehingga hubungan antar keduanya selalu diliputi rasa dendam. Kondisi psikologis semacam ini masih diperparah lagi dengan kebijakan Belanda yang tidak adil terhadap Islam.
Menurut Alwi Shihab, kondisi itulah yang menjadi salah satu pemicu utama munculnya semangat keagamaan KH Ahmad Dahlan yang menggebu-gebu yang pada gilirannya membidani lahirnya Muhammadiyah. Tidak sedikit yang membelokkan tesis Alwi Shihab ini untuk mencitrakan Muhammadiyah yang tidak toleran terhadap agama lain, sambil sesekali menjadi alat legitimasi akademis yang mencitrakan tokoh-tokoh Muhammadiyah sebagai minus empati terhadap umat agama lain. Tetapi ingatlah dan periksa bagaimana Ahmad Dahlan demikian terbuka dan dekat dengan tokoh-tokoh beragam latar belakang agama dan ideologi, serta menerima sumbangan dari manapun untuk membangun rumah sakit dan kepentingan sosial.
Agama Kristen yang dibawa para misionaris Barat harus dimusuhi sejauh ketika agama tersebut dipakai sebagai kedok imperialisme. Namun sebagai sebuah agama, KH A Dahlan sangat menghormati para pemeluk agama Kristen. Hal ini ditunjukkan dengan pergaulannya yang amat luas, tidak sebatas sesama umat Islam. Sejarah mencatat bahwa beliau sangat akrab dengan para pastur dan pendeta. Radius pergaulannya melintasi keimanan dan agama dalam semangat kebangsaan. Bahwa Muhammadiyah tidak setuju dengan model-model dakwah kristenisasi yang bersifat agresif dan evangelistik sangat mungkin terjadi sebab agresivitas apapun akan membawa ketidakharmonisan dan kejahatan di masyarakat. Lebih-lebih agresivitas misi Kristen itu ditopang dengan sikap pemerintah kolonial yang sangat mengebiri umat Islam.
Pasca kolonialisme, ketegangan hubungan antaragama muncul pada ranah politik nasional mulai tampak tidak lama setelah Indonesia merdeka, terutama pada saat perumusan dasar negara. Begitu juga pada masa Orde Baru, terutama pasca-gerakan revolusi dan tumbangnya PKI dianggap kalangan Kristen sebagai masa yang penuh berkah bagi pertumbuhan agama Kristen. Sejumlah tokoh Muhammadiyah, seperti Ki Bagus Hadikusumo, Lukman Harus, HM Rasjidi, menunjukkan sikapnya terhadap agresivitas misi Kristen dengan cara-cara konstitusional melalui saluran lembaga-lembaga resmi perwakilan rakyat. Respon terhadap misi Kristen tidak dilakukan dengan cara-cara jalanan dan anarkis yang melanggar undang-undang, serta tidak merendahkan martabat kemanusiaan.
Seiring dengan perkembangan global hubungan antaragama, tidak sedikit tokoh Muhammadiyah yang mengambil jalur kultural dan horizontal dengan mengendepankan dan mengintesifkan perjumpaan lembaga-lembaga keagamaan. Secara langsung atau tidak, apa yang dilakukan oleh pimpinan dalam menggalang dialog antaragama dan dialog antarperadaban cukup menimbulkan efek positif bagi pencerdasan sikap warga Muhammadiyah di kalangan akar rumput sehingga tidak terbawa arus radikalisme dan koservatisme buta.
Muhammadiyah memandang keragaman sebagai sunnatullah, karena itu harus dilihat secara obyektif dengan mengembangkan tradisi toleransi dan ko-eksistensi dengan tetap komitmen terhadap kebenaran agama-agama masing, sambil menghindari segala bentuk pemaksaan kehendak, ancaman dan penyiaran agama yang menimbulkan konflik atarpemeluk agama.
Kedewasaan sikap yang sama ditunjukkan oleh Muhammadiyah terhadap keragaman internal dalam Islam. Dalam hal ini menarik dikemukakan bagaimana sikap gerakan ini terhadap eksistensi Ahmadiyah. Merunut sejarah, orang-orang Muhammadiyah termasuk kelompok pertama yang langsung berhubungan dengan Ahmadiyah ketika masuk ke Indonesia pada tahun 1920-an di Minangkabau dan Yogyakarta. Pada 1924, dua orang utusan Lahore datang ke Yogyakarta, yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Ali Ahmad Beig. Ada beberapa tokoh Muhammadiyah yang mengikuti ajaran itu, antara lain M. Ngabehi Joyosugito.
Selanjutnya, serangkaian dialog dilakukan antara ulama-ulama Muhammadiyah dengan tokoh Ahmadiyah, seperti yang dilakukan oleh Syaikh Abdul Karim Amrullah sempat berdebat dengan Ahmad Beig di hadapan H Fakhruddin. Dari perdebatan itu, H Fakhruddin baru tahu bahwa Qadiani dan Lahore tidak jauh berbeda. Baru setelah itu Muhammadiyah bersikap tegas terhadap Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang dan mempersilakan dakwah sendiri, sedangkan kepada para aktivisnya yang terlanjur terjangkit paham Ahmadiyah ditegaskan untuk memilih apakah tetap di Muhammadiyah atau keluar menjadi pengikut Ahmadiyah.
Sejak 1933, Muhammadiyah sudah mengeluarkan putusan, bahwa sesuai akidah Islam Muhamadiyah menolak ada pemahaman dan ajaran lain yang meyakini nabi baru setelah nabi Muhammad sebagaimana keyakinan Ahmadiyah. Putusan Muhammadiyah ini dikeluarkan lebih awal dan lebih keras dibanding fatwa Rabithoh Islamiyah pada tahun 1979, dan juga lebih awal dari fatwa MUI yang dikeluarkan 1980 terkait keberadaan ajaran Ahmadiyah.
Namun, meski sudah mengeluarkan putusan menolak keberadaan Ahmadiyah sejak lama, Muhammadiyah enggan ikut dalam maraknya aksi gerakan pembubaran Ahmadiyah oleh sejumlah ormas yang kerap kali berujung menelan korban harta dan nyawa. Dibanding melakukan aksi-aksi mendorong pembubaran Ahmadiyah, putusan penolakan Ahmadiyah lebih dijadikan sebagai alat untuk memaksimalkan syiar kepada umat agar tidak terpengaruh terhadap ajaran Islam yang menyimpang melalui serangkaian kegiatan pendidikan dan pelatihan.
Sikap yang tegas, cerdas, dan dewasa dalam menghadapi keragaman agama dan keragaman aliran dalam Islam yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah selama ini jelas memiliki sumbangan yang besar dalam mewujudkan cita-cita luhur kebangsaan dan keadaban. Sebab di negeri ini keragaman, baik itu agama, aliran, budaya, etnis, pendapat, dan lain-lain masih sangat rentan dengan ketegangan dan konflik horizontal. Ibarat bara dalam sekam yang sewaktu-waktu mudah tersulut dengan sedikit pemantik. Lebih-lebih bila kerentanan itu sengaja dipermainkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memperkeruh situasi demi agenda politik sesaat, seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini.
Agaknya tidak selalu mudah mempertahankan model perukunan ala Muhammadiyah yang dalam waktu bersamaan harus kokoh dalam berkeyakinan sekaligus mengawal dinamika masyarakat tetap pada koridor yang dibenarkan. Ada banyak upaya yang menarik-narik Muhammadiyah ikut terlibat dalam berbagai aksi yang selama ini tidak ditemukan pembenaran dalam perjalanan gerakan ini selama satu abad. Pengalaman Muhammadiyah memperlihatkan betapa dialog horizontal yang melibatkan berbagai kalangan dalam merajut harmoni lebih menguntungkan dalam semangat kebangsaan. Sejauh ini, patut disyukuri Muhammadiyah tidak pernah terjebak dalam tindakan-tindakan anarkis yang mencederai harkat kemanusiaan, melanggar undang-undang, dan merendahkan kemuliaan Islam sendiri.