MENILAI DIRI SUCI
Allah mengingatkan manusia agar memperhatikan dirinya untuk tidak
merasa paling suci, yaitu dengan ungkapan fala tuzakku anfusakum
(janganlah kamu memandang suci atas dirimu). Allah mengetahui setiap makhluk
ciptaanNya dari hal-hal yang terlihat maupun yang tidak terlihat oleh manusia.
Allah tahu siapa yang paling baik diantara hamba-hambaNya.
Secara lengkap terjemahan ayat tersebut adalah “(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu Mahaluas
ampunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah
lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu menganggap
dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (QS. An-Najm/53: 32)
Merasa diri paling suci atau paling beriman, paling bertaqwa,
paling baik dari yang lain pada dasarnya merupakan salah satu penyakit ruhani
yang mudah menjangkiti dan menjalar pada setiap orang. Penyakit ini bisa
mengenai saiapa saja, baik orang yang gemar ibadah dan beramal maupun orang
yang malas berbuat kebajikan. Padahal tidak ada jaminan bahwa ibadah dan amal
itu menjadikan dirinya mulia di sisi Allah. Karena dimensi amal itu selain
dinilai dari manfaat sosialnya masih harus dinilai kadar keikhlasannya.
Dalam ayat tersebut disebutkan Allah lah yang paling tahu kondisi
manusia sejak ia diciptakan, dalam kandungan, dilahirkan, menjadi anak, dewasa
dan seterusnya. Allah juga yang tahu apakah seseorang itu bersih atau kotor
berlumur dosa. Hakikat kebaikan dan keburukan manusia teramat sulit dideteksi,
tidak cukup dilihat dari sisi lahiriyah saja, baik uacapan, tulisan, maupun
perbuatan. Perilaku lahiriyah hanya sebagian indikator untuk menilai seseorang
karena di belakang yang lahiriyah itu bisa jadi mengandung tujuan yang
sebaliknya.
Setiap orang berusaha sedemikian rupa menjadi baik, menghindari
perbuatan-perbuatan dosa yang dapat mencelakai diri dan orang lain. Untuk
dosa-dosa besar yang dampaknya luas barang kali akan mudah terlihat sehingga
lebih mudah dihindari. Tetapi dosa-dosa kecil yang lembut dan menyusup kedalam
hati akan sulit terdeteksi. Terkadang dosa kecil itu begitu halus dan ringan
sehingga seseorang tidak menyadari atau merasa melakukannya, dan menganggapnya
tidak perlu dikhawatirkan.
Sifat manusia yang bergolak menjadikannya tidak lepas dari dosa
dan kesalahan, betapapun kesalahan itu kecil dan halus. Tentu saja Allah
mengetahui dengan jelas semuanya. Karena itu Allah memberikan jalan agar
manusia terjamin dan terjaga kebersihannya, yaitu dengan bertaubat. Yang baik
bagi pelaku dosa adalah yang segera bertaubat, tidak mengulangi lagi setelah
berbuat dosa. Lalu berusaha menjauhi hal-hal yang mendekatkan pada pintu dosa
dan keji agar tidak terulang.
Dalam hadis-hadis Nabi disebutkan adanya orang-orang yang dijamin
masuk surga oleh Nabi Muhammad saw. Tetapi mereka yang disebut itu justru
semakin menunjukkan kerendahan hati dan menjaga diri dari sifat-sifat yang
dapat mengotori hatinya. Mereka selalu berdoa agar terhindar dari hal-hal
merusah hatinya, memohon selalu di dalam petunjukNya serta untuk mampu
bersyukur.
Istri dan sahabat Rasulullah Muhammad saw. suatu hari bertanya
campur heran mengapa setiap malam bangun salat malam sampai dengkulnya lecet. Nabi
menjawab, bahwa beliau ingin sekali menjadi hamba yang pandai mensyukuri atas
semua hidayah dan anugerah Allah yang dilimpahkan padanya.
Merasa diri paling suci bagian dari
kesombongan yang dapat menutup hati untuk bersyukur. Sebaliknya, rendah hati
menjadikan seseorang tidak mudah menghakimi dosa-dosa orang lain atau menilai
orang lain sebagai kotor dan durhaka.
Mutohharun Jinan, direktur Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Telah dipublikasikan di Solopos, 28 Februai 2020