Dialog
Horizontal Muhammadiyah
Oleh Mutohharun Jinan
Sebagai salah satu
kekuatan sosial-politik bangsa Indonesia, peran Muhammadiyah tidak
bisa diabaikan dalam upaya membangun kerukunan dan merajut harmoni
bangsa. Visi toleran dan semangat perukunan kebangsaan selalu tampak
menonjol dalam derap langkah perjalanan gerakan ini. Perjalanan
panjang Muhammadiyah sejak tahun 1912 menjadi "ruang pergumulan"
yang cukup berarti dalam mendewasakan bangsa Indonesia dan menganyam
harmoni keagamaan dan kebangsaan.
Secara internal
Muhammadiyah juga menunjukkan sikap bijak sekaligus liat dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi pada setiap zaman dilalui. Dalam
waktu yang sama, secara eksternal, juga turut menjadi bagian penting
perjalanan bangsa dengan segala persoalan yang menyertainya. Diantara
yang perlu mendapat apresiasi adalah kemampuan Muhammadiyah dalam
menyikapi perbedaan dengan warga atau kelompok lain dalam bingkai
kemajuan dan kebangsaan.
Dalam tulisan ini akan
dikemukakan dua kasus bagaimana gerakan ini merespons masalah
sensitif dan mendasar yang sering kali menjadi ancaman retaknya
anyaman harmoni keagamaan dan kebangsaan, yaitu respons terhadap
penetrasi agama-agama lain (utamanya misi Kristen) sebagai
represesntasi sikap Muhamadiyah dalam hubungan antaragama dan respons
terhadap gerakan Ahmadiyah sebagai representasi sikapnya dalam
konteks keragaman intraagama. Dua persoalan tersebut hingga saat ini
masih menjadi momok sekaligus parameter keberhasilan bagi cita-cita
pembentukan berbangsa yang beradab.
Di Indonesia wacana
mengenai hubungan antaragama tentu bukanlah hal yang sama sekali
baru. Sejak awal mula bangsa ini memiliki kekayaan ragam agama. Tidak
sulit kita jumpai manuskrip-manuskrip kuno, tokoh-tokoh, institusi
dan bahkan dokumen negara tentang pentingnya membangun hubungan
antaragama. Namun demikian, ketegangan dan koflik antaragama tetap
saja mencuat di setiap zaman, terlebih bila menengok kebelakang
sejarah hubungan antaragama (utamanya Islam-Kristen) di Indonesia,
tidak selalu berjalan mulus. Hubungan antaragama sering kali diwarnai
ketegangan dan konflik, baik yang disebabkan oleh persoalan sentimen
keagamaan maupun hanya imbas dari masalah sosial dan politik.
Semenjak masuknya agama
Kristen di Indonesia, kerukunan antarumat beragama lebih diwarnai
oleh konflik antara Islam dan Kristen, karena agama Kristen tersiar
bersamaan dengan pemerintahan kolonial Belanda yang selalu merugikan
umat Islam. Kerjasama misionaris Kristen dengan kolonial semakin
menambah kecurigaan dan kebencian di kalangan umat Islam terhadap
Kristen sehingga hubungan antar keduanya selalu diliputi rasa dendam.
Kondisi psikologis semacam ini masih diperparah lagi dengan kebijakan
Belanda yang tidak adil terhadap Islam.
Menurut Alwi Shihab,
kondisi itulah yang menjadi salah satu pemicu utama munculnya
semangat keagamaan KH Ahmad Dahlan yang menggebu-gebu yang pada
gilirannya membidani lahirnya Muhammadiyah. Tidak sedikit yang
membelokkan tesis Alwi Shihab ini untuk mencitrakan Muhammadiyah yang
tidak toleran terhadap agama lain, sambil sesekali menjadi alat
legitimasi akademis yang mencitrakan tokoh-tokoh Muhammadiyah sebagai
minus empati terhadap umat agama lain. Tetapi ingatlah dan periksa
bagaimana Ahmad Dahlan demikian terbuka dan dekat dengan tokoh-tokoh
beragam latar belakang agama dan ideologi, serta menerima sumbangan
dari manapun untuk membangun rumah sakit dan kepentingan sosial.
Agama Kristen yang dibawa para misionaris Barat
harus dimusuhi sejauh ketika agama tersebut dipakai sebagai kedok
imperialisme. Namun sebagai sebuah agama, KH A Dahlan sangat
menghormati para pemeluk agama Kristen. Hal ini ditunjukkan dengan
pergaulannya yang amat luas, tidak sebatas sesama umat Islam. Sejarah
mencatat bahwa beliau sangat akrab dengan para pastur dan pendeta.
Radius pergaulannya melintasi keimanan dan agama dalam semangat
kebangsaan. Bahwa Muhammadiyah tidak setuju dengan model-model dakwah
kristenisasi yang bersifat agresif dan evangelistik sangat mungkin
terjadi sebab agresivitas apapun akan membawa ketidakharmonisan dan
kejahatan di masyarakat. Lebih-lebih agresivitas misi Kristen itu
ditopang dengan sikap pemerintah kolonial yang sangat mengebiri umat
Islam.
Pasca kolonialisme,
ketegangan hubungan antaragama muncul pada ranah politik nasional
mulai tampak tidak lama setelah Indonesia merdeka, terutama pada saat
perumusan dasar negara. Begitu juga
pada masa Orde Baru, terutama pasca-gerakan revolusi dan tumbangnya
PKI dianggap kalangan Kristen sebagai masa yang penuh berkah bagi
pertumbuhan agama Kristen. Sejumlah tokoh Muhammadiyah, seperti Ki
Bagus Hadikusumo, Lukman Harus, HM Rasjidi, menunjukkan sikapnya
terhadap agresivitas misi Kristen dengan cara-cara konstitusional
melalui saluran lembaga-lembaga resmi perwakilan rakyat. Respon
terhadap misi Kristen tidak dilakukan dengan cara-cara jalanan dan
anarkis yang melanggar undang-undang, serta tidak merendahkan
martabat kemanusiaan.
Seiring
dengan perkembangan global hubungan antaragama, tidak sedikit tokoh
Muhammadiyah yang mengambil jalur kultural dan horizontal dengan
mengendepankan dan mengintesifkan perjumpaan lembaga-lembaga
keagamaan. Secara langsung atau tidak, apa yang dilakukan oleh
pimpinan dalam menggalang dialog antaragama dan dialog antarperadaban
cukup menimbulkan efek positif bagi pencerdasan sikap warga
Muhammadiyah di kalangan akar rumput sehingga tidak terbawa arus
radikalisme dan koservatisme buta.
Muhammadiyah
memandang keragaman sebagai sunnatullah, karena itu harus dilihat
secara obyektif dengan mengembangkan tradisi toleransi dan
ko-eksistensi dengan tetap komitmen terhadap kebenaran agama-agama
masing, sambil menghindari segala bentuk pemaksaan kehendak, ancaman
dan penyiaran agama yang menimbulkan konflik atarpemeluk agama.
Kedewasaan
sikap yang sama ditunjukkan oleh Muhammadiyah terhadap keragaman
internal dalam Islam. Dalam hal ini menarik dikemukakan bagaimana
sikap gerakan ini terhadap eksistensi Ahmadiyah. Merunut sejarah,
orang-orang Muhammadiyah termasuk kelompok pertama yang langsung
berhubungan dengan Ahmadiyah ketika masuk ke Indonesia pada tahun
1920-an di Minangkabau dan Yogyakarta. Pada 1924, dua orang utusan
Lahore datang ke Yogyakarta, yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Ali Ahmad
Beig. Ada beberapa tokoh Muhammadiyah yang mengikuti ajaran itu,
antara lain M. Ngabehi Joyosugito.
Selanjutnya, serangkaian
dialog dilakukan antara ulama-ulama Muhammadiyah dengan tokoh
Ahmadiyah, seperti yang dilakukan oleh Syaikh Abdul Karim Amrullah
sempat berdebat dengan Ahmad Beig di hadapan
H Fakhruddin. Dari perdebatan itu, H Fakhruddin baru tahu bahwa
Qadiani dan Lahore tidak jauh berbeda. Baru setelah itu Muhammadiyah
bersikap tegas terhadap Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang dan
mempersilakan dakwah sendiri, sedangkan kepada para aktivisnya yang
terlanjur terjangkit paham Ahmadiyah ditegaskan untuk memilih apakah
tetap di Muhammadiyah atau keluar menjadi pengikut Ahmadiyah.
Sejak
1933, Muhammadiyah sudah mengeluarkan putusan, bahwa sesuai akidah
Islam Muhamadiyah menolak ada pemahaman dan ajaran lain yang meyakini
nabi baru setelah nabi Muhammad sebagaimana keyakinan Ahmadiyah.
Putusan Muhammadiyah ini dikeluarkan lebih awal dan lebih keras
dibanding fatwa Rabithoh Islamiyah pada tahun 1979, dan juga lebih
awal dari fatwa MUI yang dikeluarkan 1980 terkait keberadaan ajaran
Ahmadiyah.
Namun, meski sudah
mengeluarkan putusan menolak keberadaan Ahmadiyah sejak lama,
Muhammadiyah enggan ikut dalam maraknya aksi gerakan pembubaran
Ahmadiyah oleh sejumlah ormas yang kerap kali berujung menelan korban
harta dan nyawa. Dibanding melakukan aksi-aksi mendorong pembubaran
Ahmadiyah, putusan penolakan Ahmadiyah lebih dijadikan sebagai alat
untuk memaksimalkan syiar kepada umat agar tidak terpengaruh terhadap
ajaran Islam yang menyimpang melalui serangkaian kegiatan pendidikan
dan pelatihan.
Sikap yang tegas,
cerdas, dan dewasa dalam menghadapi keragaman agama dan keragaman
aliran dalam Islam yang ditunjukkan oleh Muhammadiyah selama ini
jelas memiliki sumbangan yang besar dalam mewujudkan cita-cita luhur
kebangsaan dan keadaban. Sebab di negeri ini keragaman, baik itu
agama, aliran, budaya, etnis, pendapat, dan lain-lain masih sangat
rentan dengan ketegangan dan konflik horizontal. Ibarat bara dalam
sekam yang sewaktu-waktu mudah tersulut dengan sedikit pemantik.
Lebih-lebih bila kerentanan itu sengaja dipermainkan oleh
kelompok-kelompok tertentu untuk memperkeruh situasi demi agenda
politik sesaat, seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini.
Agaknya tidak selalu
mudah mempertahankan model perukunan ala Muhammadiyah yang dalam
waktu bersamaan harus kokoh dalam berkeyakinan sekaligus mengawal
dinamika masyarakat tetap pada koridor yang dibenarkan. Ada banyak
upaya yang menarik-narik Muhammadiyah ikut terlibat dalam berbagai
aksi yang selama ini tidak ditemukan pembenaran dalam perjalanan
gerakan ini selama satu abad. Pengalaman Muhammadiyah memperlihatkan
betapa dialog horizontal yang melibatkan berbagai kalangan dalam
merajut harmoni lebih menguntungkan dalam semangat kebangsaan. Sejauh
ini, patut disyukuri Muhammadiyah tidak pernah terjebak dalam
tindakan-tindakan anarkis yang mencederai harkat kemanusiaan,
melanggar undang-undang, dan merendahkan kemuliaan Islam sendiri.