Spirit
Islam dan Kebangsaan HOS
Cokroaminoto
Haji
Oemar Said Cokroamnito, tokoh ini hampir pasti disebut oleh setiap
orang yang menelaah geneologi tokoh-tokoh pergerakan (keagamaan dan
nasionalis) Indonesia. Perannya dalam mendidik generasi bisa
dikatakan tuntas dan lengkap dengan melahirkan tiga aras pergerakan
ideologis di Indonesia: komunisme, nasionalisme, dan islamisme.
Cokroaminoto
banyak melakukan pengkaderan terhadap generasi, sehingga muncullah
nama-nama tokoh seperti Soekarno (berhaluan nasionalis), Muso dan
Alimin (berhaluan komunis), Kartosuwiryo (berhaluan Islamis). Pada
perkembangan selanjutnya Semaun dan Muso menjadi otak dari
pemberontakan PKI di Madiun dan Kartosuwiryo menjadi pelopor gerakan
DI/TII yang ingin membentuk Negara Islam Indonesia. Tidak ketinggalan
ketika belakangan ini wacana gerakan NII mencuat ke permukaan dengan
tokoh legendaris SM Kartosuwirjo, sekali lagi Cokroaminoto
ditempatkan sebagai pangkal ideologis, lantaran Cokroaminoto pernah
sebagai mentor pendiri DI/NII itu.
Bagi
kalangan pergerakan Islam Cokroaminoto
sering kali dijadikan rujukan guna menguatkan gerakan-gerakan
ideologi politik-keagamaan di Indonesia. Memang sejarah tokoh
kelahiran Madiun pada 16 Agutus 1882 ini adalah sejarah pergerakan
Islam itu sendiri, mulai dari keterlibatannya di Serikat Dagang
Islam, Serikat Islam, dan Central Serikat Islam, dan akhirnya Partai
Serikat Islam Indonesia.
Sejatinya,
bila meminjam kategori Geertz, latar
belakang Cokroaminoto lebih dekat dengan kategori priyayi. Ia adalah
anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Cokroamiseno,
salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M.
Adipati Cokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo.
Latar belakang pendidikannya juga bukan dari pesantren atau berguru
pada ulama tertentu tetapi dari Opleiding
School Voor Inlandsche Amternaren
(OSVIA).
Setelah
menamatkan studi di (OSVIA), sekolah pegawai admisitrasi
pemerintahan Magelang, ia mengikuti jejak kepriyayian ayahnya sebagai
pegawai pangreh praja walaupun akhirnya ia tinggalkan karena tidak
suka dengan kebiasaan sembah jongkok yang baginya sangat melecehkan.
Tahun 1905 Cokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja pada
perusahaan dagang, di samping ia juga belajar di sekolah malam Hogore
Burger School. Bersama istrinya,
Suharsikin, menjadikan sebagian rumahnya untuk kos bagi pelajar, yang
nantinya melalui rumah inilah Cokroaminoto menyalurkan ilmunya dalam
agama, politik dan berorasi yang menjadi cikal bakal pembentukan
tokoh-tokoh penting di Indonesia.
Dengan
latar belakang priyayi (bangsawan)
seharusnya ia memiliki orientasi gerakan sama dengan gerakan
nasionalis –eksklusif- seperti Budi Utomo (1908). Namun tidak
demikian dengan apa yang dipikirkan oleh Cokroaminoto. Menurut
catatan Ahmad Mansur Suryanegara, Cokroaminoto memilih bergabung
dengan SDI, pergerakan Cokroaminoto muda lebih dominan dialiri darah
santri dari buyutnya Kiai Bagus Kasan Besari seorang ulama dengan
visi kerakyatan yang kental dan sepanjang hidupnya memperjuangkan
tegaknya ajaran Islam di Madiun Jawa Timur. Karena itu visi gerakan
Cokroaminoto adalah Islam dan kerakyatan. Dialah tokoh politik yang
berhasil menggabungkan retorika politik melawan penjajah Belanda
dengan ideologi Islam hingga mengenyahkan penjajah dari Bumi
Nusantara (Suryanegara, 1995: 190).
Ia
memilih Sarekat Dagang Islam (SDI) yang
saat itu dipimpin oleh H.Samanhudi di Solo, sebuah pergerakan pertama
Indonesia yang menggelorakan semangat kemerdekaan, nasionalisme,
ekonomi dan keagamaan. Keterlibatannya di SDI menjadi tonggak penting
bagi kebangkitan fenomenal gerakan ini. SDI berubah menjadi sebuah
organisasi yang besar dan menakutkan bagi kolonial. Kemahirannya
serta kepiawaiannya berpolitik dalam menyuarakan kemerdekaan
Indonesia dan memihak kepentingan rakyat membuat SDI begitu diminati
rakyat pribumi baik dari kalangan menengah maupun rakyat jelata.
Terlebih setelah SDI berubah menjadi Serikat Islam (Noer, 1988: 121).
Dibawah
kepemimpinan Cokroaminoto SI menjadi tenda
besar bagi cita-cita rakyat kalangan menengah seperti para saudagar,
dokter, guru, dan priyayi. Tentu saja pengikut terbanyak adalah dari
kalangan rakyat desa yang sangat membutuhkan sosok pemimpin massa
yang kharismatik. Bahkan rakyat pedesaan menganggapnya sebagai Ratu
Adil, anggapan yang ditolak dengan tegas oleh Cokroaminoto karena
bertentangan dengan aqidah Islam. Begitu juga Cokroaminoto mendapat
dukungan dari kelompok santri, sebagai dampak dari gelombang
revitalasi Islam pada abad 19. Mobilisasi umat Islam dalam beribadah
haji turut mempengaruhi geliat gerakan Islam di Tanah Air (Azra,
2002: 216).
Sebagaimana
disebutkan, visi kerakyatan dan keislaman menjadi spirit utama
gerakan Cokroaminoto. Ia juga membenarkan garis dasar perjuangan
perubahan sosial ekonomi yang diletakkan oleh Samanhudi dengan
berpijak pada Islam. Rakyat yang tertindas oleh penjajah kolonial
Belanda secara ekonomi dan politik telah mengusik pemikiran dan
hatinya. Cokroaminoto menyuarakan kegundahan hatinya melalui
statemen, “Negara dan bangsa kita tidak akan mencapai kehidupan
yang adil dan makmur, pergaulan hidup yang aman dan tenteram selama
ajaran-ajaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan menjadi hukum
dalam negara kita, sekalipun sudah merdeka.”(Amelz, 1952: 128)
Orientasi
kepada pembelaan rakyat merupakan hasil dari pembacaan realitas saat
itu bahwa rakyat adalah Islam dan Islam adalah rakyat. Rakyat hanya
mempunyai satu pengertian istilah yakni
Islam. Penggunaan kata diluar Islam dirasakan kurang komunikatif.
Rakyat di desa pada saat kepemimpinan Cokroaminoto tidak mengenal
istilah Tanah Air dan kesatuan negara. Mereka hanya mengetahui satu
identitas bahwa dirinya muslim, sebagaimana yang dijumpai di
tempat-tempat publik semuanya muslim. Oleh karena itu, Cokroaminoto
membangkitkan kesadaran nasional melalui kesamaan iman/Islam rakyat.
Bagi
rakyat pengertian pribumi, Jawa, Melayu, Sunda, dan lain-lainnya
adalah Islam. Sementara Kristen disamakan dengan Eropa. Sistem
segragasi identitas ini juga menjadi kebijakan Belanda, sekaligus
menyuburkan keyakinan rakyat, Islam berarti anti penjajahan Belanda.
Kondisi yang demikian itu dimanfaat Cokroaminoto untuk memperjuangkan
rakyat dengan sentimen Islam yang merakyat, dan bukan dengan gerakan
Budi Utomo yang cenderung eksklusif. Namun demikian, sekalipun Islam
dijadikan landasan perjuangannya Cokroaminoto tidak pernah
menggariskan sikap bangsa Indonesia harus anti-Kristen.
Kepemimpinannya secara eksplisit tidak memprogramkan gerakan
anti-Kristen dan anti-china tetapi mengajak rakyat untuk berrevolusi
terhadap pemerintahan yang tiranik dan zalim (Suryanegara, 1995:
192).
Cokroaminoto
akhirnya dikenal sebagai salah satu pahlawan pergenakan nasional yang
berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata-kata
mutiaranya yang masyhur dan inspiratif “Setinggi-tinggi
ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”
akhirnya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional
yang patriotik, dan ia menjadi salah satu tokoh yang berhasil
membuktikan besarnya kekuatan agama, politik dan perdagangan
Indonesia untuk melawan segala bentuk penjajahan. Kata mutiara itu
menggambarkan suasana perjuangan Indonesia yang saat itu membutuhkan
tiga jiwa dan kemampuan pada diri seseorang untuk mempertahankan dan
membangun negaranya Indonesia.
Dengan
mengikuti landasan berfikir dan gerakan Cokroaminoto teramat mudah
mengatakan bahwa begitu besar peran intelektual muslim dalam setiap
langkah bangsa ini menorehkan sejarah perjuangannya. Tokoh muslim
yang wafat pada 17 Desember 1934 ini menjadi penting karena
menggulirkan momentum perubahan pemikiran dan gerakan dalam Islam
sekaligus kebangsaan. Ia telah meletakkan dasar-dasar perubahan dalam
gerakan Islam, sosial, dan politik menuju Indonesia yang bebas dari
penindasan penjajah.
Mutohharun Jinan, pengajar Pondok Hajjah Nuriyah Shabran
Universitas Muhammadiyah Surakarta.