BAB V
PENGTINGNYA
PENGUASAAN IPTEK
A.
ISYARAT AL-QUR’AN
TENTANG PENTINGNYA PENGUASAAN IPTEK
Dalam al-Quran banyak sekali disebutkan
ayat-ayat yang mendorong umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Kalau
dilakukan penelusuran secara seksama, paling tidak ditemukan tujuh i'tibar
dalam bidang iptek yang terdapat dalam al-Qur'an, yaitu:
- Penggalian
lubang di tanah, menguburkan mayat dan menimbuninya, seperti yang
dipelajari Qabil dari perbuatan gagak, setelah ia membunuh saudara
kandungnya, si Habil (Q.S. al-Maidah/5:30-31).
- Pembuatan,
melayarkan dan melabuhkan kapal oleh Nabi Nuh a.s. pada masa
menjelang waktu air bah datang,
sehingga terjadi banjir besar. Nabi Nuh dan umatnya yang setia selamat
dari banjir tersebut (Q.S. Hud/11:36-44).
- Menyucikan,
meninggikan pondasi, dan membangun Baitullah oleh Nabi Ibrahim a.s.,
dibantu oleh Ismail (Q.S. al-Baqarah/ 2:124- 132).
- Pengelolaan
sumber daya alam dan hasil bumi oleh Nabi Yusuf (Q.S. Yusuf/12:55-56)
- Pelunakan besi dan pembuatan baju
besi, serta pengendalian dan pemanfaatan bukit-bukit dan burung-burung
oleh Nabi Daud (Q. S. al-Anbiya'/21:80 dan Saba'J34:10-11).
- Komunikasi dengan burung, semut dan
jin, pemanfaatan tenaga angin untuk transportasi, pemanfaatan tenaga
burung untuk komunikasi, mata-mata untuk tentara, pemanfaatan tenaga jin
untuk tentara, penyelam laut, membangun konstruksi bangunan, patung, kolam
dan pencairan tembaga oleh Nabi Sulaiman (Q.S. al-Anbiya'/21:81-82,
al-Naml/27:15-28, Saba'/34:12-13, dan Shad/38:34-40).
- Penyembuhan orang buta, berpenyakit
lepra, dan telepati oleh Nabi Isa a.s. (Q.S. Ali Imran/3:49-50 dan
al-Maidah/4:110).
Beberapa
informasi Qur'ani itu, mestinya iptek bukanlah hal yang asing bagi umat Islam.
Karena peristiwa sejarah masa lalu itu tetap memiliki nilai kegunaan yang
tinggi bagi umat sesudahnya. Sejarah bukan sustu peristiwa statis yang hanya
dinikmati, dirasakan dan diambil oleh pelaku dan masyarakat sezamannya,
melainkan sejarah sesuatu yang ilinamis,
yang dapat diambil hikmah dan nilai. Maka sejarah itu harus dihadirkan,
direfleksikan ke masa kini dan masa depan.
Selain itu, dalam ayat-ayat yang lain sebagaimana banyak disinggung
pada pembahasan di awal, ditemukan ayat-ayat yang mendorong manusia untuk
menguasai iptek. Karena bagaimana pun juga, iptek sangat dibutuhkan dalam
memajukan kehidupan manusia. Iptek akan terus berkembang seirama tingkat daya
intelektualitas manusia dalam merespon dan meramalkan kemungkinan atau
kecenderungan kehidupan manusia masa depan.
Ahmad Watik Pratiknya dan Muhammadi, keduanya aktif dalam Persyarikatan
Muhammadiyah, menangkap respon umat Islam dalam mensikapi perkembangan iptek
walaupun dengan redaksi yang ber beda, tetapi tetap dalam substansi yang sama.
Menurutnya, ada dua sikap yakni: (1) melihat berbagai perkembangan iptek dan
kecenderungannya secara utopistik, oportunistik berlebihan, dan beranggapan
mestinya begitulah kehidupan moderen. Mereka menganggap Iptek sebagai variabel
perubahan yang bersifat mutlak dan dominan. (2) melihat berbagai perkembangan
iptek dan kecenderungannya secara distopistik, pesimis dan cemas berlebihan. Mereka melihat perkembangan
iptek sebagai sumber bencana bagi masa depan manusia, dan penuh dengan
kekhawatiran Iptek akan mencerabut kebudayaan manusia dari akarnya, mencerabut
nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Munculnya dua sikap itu lebih didasarkan pada realitas, antara lain: (1)
pertimbangan bias masyarakat, baik bias keilmuan maupun bias kepercayaan. Hal
ini terjadi karena penempatan ilmu dan agama secara dikhotomis yang berkembang
dalam masyarakat. (2) Pendekatan yang bersifat parsial terhadap kemaknaan
iptek bagi kehidupan manusia. Pendekatan parsial ini dapat terjadi karena
keterbatasan informasi mengenai Iptek itu sendiri. (3) Tiadanya pemahaman filosofik-konseptual
yang adekuat tentang Iptek.
Pandangan yang proporsional, dapat dikembangkan apabila dilandasi oleh
pandangan dasar yang menempatkan Iptek tetap sebagai alat bagi manusia untuk
berinteraksi dengan dirinya dan lingkungannya. Oleh karena itu kehadiran dan
perkembangan Iptek merupakan suatu keharusan sejarah (sunnatullah). Karena merupakan keharusan sejarah maka tidak bisa ditawar lagi umat,
umat Islam harus menguasai, dalam rangka pengalaman Islam secara integratif. Menunjukkan kepada
dunia, bahwa Islam tidak hanya mengajarkan tentang ibadah saja, tetapi juga
mengajarkan tentang Iptek.
Bagaimana dengan al-Qur'an, apakah mengandung ajaran-ajaran tentang
Iptek secara kongkrit, definitif dan rinci? Dalam al-Qur'an ditemukan tidak
kurang dari sepuluh persen ayat-ayatnya merupakan rujukan-rujukan kepada
fenomena alam. Namun demikian, ada dua pandangan tentang keutuhan materi
al-Qur'an yang berkenaan dengan Iptek.
Pandangan pertama, mengatakan bahwa al-Qur'an memuat seluruh bentuk
pengetahuan termasuk disiplin-disiplinnya. Pandangan ini karena
menempatkan al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan mukjizat al-Qur'an dalam lapangan
keilmuan untuk meyakinkan orang-orang non muslim akan keagungan dan keunikan
al-Qur'an, dan untuk menjadikan kaum muslimin bangga memiliki kitab suci. Yang
masuk dalam kelompok pertama ini misalnya al-Ghazali, dalam kitab Ihya 'Ulum al-Din, ia mengutip kata-kata Ibnu Mas'ud: "Jika seseorang ingin memiliki
pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modem, selayaknya dia merenungkan
al-Qur'an". Ringkasnya, seluruh ilmu tercakup di dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan
al-Qur'an adalah penjelasan esensi, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Dalam
bukunya yang lain, Jawahir al-Quran, dikatakan bahwa "prinsip-prinsip ilmu
yang telah kami jelaskan dan yang belum kami spesifikasikan, bukanlah di luar
al-Qur’an, karena seluruh ilmu ini diraih dari salah satu lautan
pengetahuan-Nya. Telah kami sebutkan bahwa al-Qur'an itu laksana lautan yang
tak bertepi, dan bahwa sekiranya lautan itu menjadi tinta (untuk menjelaskan)
kata-kata Tuhanku, sungguh lautan itu akan babis sebelum kata- kata Tuhan itu
berakhir".
Tokoh lainnya adalah al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur’an, mengatakan al-Qur’an mencakup seluruh ilmu-ilmu baik yang
klasik maupun yang tergolong modern (Q. S. al An'am/6:38, al-Nahl/16: 89). Juga
dikemukakan oleh Abd. Al-Rahman al-Kawakibi dalam kitabnya, Thab' al-Istibdad (Hakikat Depotisme): “pada abad-abad sekarang,
sains telah mengungkapkan berbagai fakta dan ini semua dinisbahkan kepada para
penemunya, orang-orang Eropa dan Amerika. Tapi mereka yang menelaah al-Qur'an
dengan cermat akan menemukan bahwa kebanyakan fakta-fakta tersebut dinyatakan
secara eksplisit dan implisit dalam al-Qur'an sejak tiga belas abad yang lalu”. `Abd Razaq Naufal dalam bukunya, The
Qur'an and Modern Science, mengatakan bahwa: “ketika kita membuktikan
kepada orang-orang non-Arab bahwa alQur'an itu mengandung prinsip-prinsip
sains modern dan telah membicarakan setiap fenomena keilmuan baru, apakah
keajaiban al-Qur'an ini tak cukup untuk menarik perhatian mereka terhadap
al-Qur'an?”. Begitu juga Maurice Bucaille dalam bukunya, The Bible, the
Qur'an, and Science, lebih tegas mengatakan bahwa: “al-Qur'an memiliki
kesesuaian yang sempurna dengan sains modern,
pengetahuan sains modern memberi kesempatan untuk memahami ayat-ayat
al-Qur'an, dimana ayat-ayat itu sampai dewasa ini tidak mungkin ditafsirkan”.
Pandangan kedua,
mengatakan bahwa al-Qur'an itu semata-mata sebagai Kitab Petunjuk, dan di
dalamnya tidak ada tempat bagi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pandangan kedua ini sebagai bentuk reaksi dari pandangan pertama, dipelopori
misalnya, oleh Abu Ishak al-Syathibi, yang dikutip oleh al-Dhahabi dalam al-Tafsir
wa al-Mufassirun, bahwa orang-orang saleh pendahulu itu lebih memahami
al-Qur'an daripada kita, dan mereka tidak berbicara tentang bentuk ilmu
tersebut. Argumentasi yang mendukung pandangan kedua, bisa disimpulkan dalam
empat hal, yaitu: (1) tidaklah benar menafsirkan kata-kata al-Qur'an dengan
cara yang tidak diketahui oleh orang-orang Arab pada masa Nabi. (2) Al-Qur'an
tidak diwahyukan untuk mengajari kita sains dan teknologi, tapi merupakan
Kitab petunjuk. Masalah Iptek di luar tujuan diwahyukan al-Qur'an. (3) Sains
belum mencapai tingkat kemajuan yang sempurna, maka tidak benar menafsirkan
al-Qur'an menurut teori-teori yang dapat berubah. (4) Sudah menjadi kehendak
Allah, manusia dapat menemukan rahasia-rahasia alam dengan menggunakan indera
dan daya intelektualnya. Jika al-Qur'an mencakup seluruh Iptek, maka akal
manusia pun akan menjadi jumud dan kebebasan manusia menjadi tidak bermakna.
Dua pandangan yang kelihatannya
kontradiktif tersebut, ada pandangan ketiga yang dikemukakan oleh Syaikh Musthafa
al-Maraghi, yang dijelaskan dalam pengantar buku Ismail Pasha berjudul Islam and Modern Medicine. Dikatakan, “bukanlah maksud saya untuk mengatakan bahwa
Kitab Suci ini mencakup secara rinci atau ringkas seluruh sains dalam gaya
buku-buku teks, tapi saya ingin mengatakan bahwa al-Qur'an mengandung
prinsip-prinsip umum”.
Yang perlu digarisbawahi dari berbagai pandangan di atas adalah bahwa
al-Qur'an tetap diletakkan sebagai Kitab petunjuk dalan kehidupan manusia yang
di dalamnya terdapat prinsip-prinsip umum dan etik tentang Iptek. Sementara
rumusan dan perincian Iptek sampai pada tingkat penerapannya sangat tergantung
pada manusia itu sendiri. Karena manusia dengan akalnya mampu membedakan yang
baik dan benar, yang membawa maslahah dan yang
menghancurkan. Tapi ingat, semua yang dikerjakan oleh manusia akan dimintai pertanggunganjawaban
ddi hadapan Allah. Kalau ia megembangkan iptek untuk kemaslahatan umat manusia
(baik), sorga jaminannya, sementara kalau Iptek yang diciptakan untuk
menghancurkan peradaban umat manusia, neraka sebagai tempat kembalinya.
B.
KEWAJIBAN MUSLIM
MENGGALI ILMU PENGETAHUAN
Al Islam sebagai
agama yang bersumber teks Al-Qur’an dan Assunah Almaqbulah menjadi subyek dan
obyek pemikiran. Dalam pandangan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., kedua sumber
pokok Islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan sains.
Pertama, prinsip-prinsip seluruh sains dipandang kaum Muslim terdapat dalam
al-Qur'an. Dan sejauh pemahaman terhadap al-Qur'an, terdapat pula penafsiran
yang bersifat esoteris (ma’nawi) terhadap Kitab Suci ini, yang
memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi
juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pembangunan
paradigma sains.
Kedua, al-Qur'an
dan Assunah almaqbulah menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan sains
dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut sains pencarian sains dalam
segi apapun berujung pada penegasan Tauhid-Keunikan dan Keesaan Tuhan.
Karenanya, seluruh metafisika dan kosmologi yang terbit dari kandungan
al-Qur'an dan As-sunah al-maqbulah merupakan dasar pembangunan dan pengembangan
sains. Kedua sumber pokok ini, singkatnya, menciptakan atmosfir khas yang
mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam.
Dengan watak
pandangan dunia (worldview) inklusif seperti itu, maka tidak aneh kalau
spektrum pengembangan sains dalam Islam menjadi sangat luas. Sebagaimana
dibuktikan dalam sejarah, ilmuwan Muslim menerima warisan sains dari berbagai
pihak: sejak dari Yunani. India, Cina dan sebagainya. Tetapi dalam proses
transmissi sains itu ilmuwan Muslim tidak berlaku pasif. Seperti dikemukakan
Nasr dalam Islamic Science: An Illustrated Study (1976, h. 9):
“Sains
Islam muncul dari perkawinan antara semangat yang terbit dari wahyu Qur’ani
dengan sains yang ada dari berbagai peradaban, yang diwarisi Islam yang
ditelaah diubah-bentuk melalui kekuatan rohaniahnya menjadi suatu substansi
baru; yang berbeda dan sekaligus melanjutkan apa yang telah ada sebelumnya.
Sifat internasional dan kosmopolitan wahyu Islam-yang bersuber dari karakter
universal wahyu Islam dan tercermin dalam penyebaran geografis Islam (dâr
al-Islâm)-membuat Islam mampu menciptakan sains pertama yang benar-benar
bersifat internasional dalam sejarah manusia”.
Dalam tinjauan
ilmiah kebahasaan Nurcholish Madjid mengemukakan sains kealaman dan sains
sosial dimulai dengan penuturan sebagai berikut: Umat manusia, yaitu keturunan
Adam (Bani Adam) hidup dalam lingkungan yang disebut alam (âlam).
Dari segi kebahasan, perkara “alam” (Arab: âlam-un) adalah satu akar
kata dengan perkataan “ilmu” (Arab: ‘ilm-un), juga dengan kata-kata
“alamat” (Arab: ‘alâmat-un). Dan pengertian “alamat” atau “pertanda”
itulah yang juga terkandung dalam perkataan “ayat” (Arab: âyât-un). Jadi
jagad raya adalah “alamat” atau “ayat” Tuhan. Karena itu “alam” merupakan
sumber “ilmu” manusia. Manusia diperintahkan untuk memperhatikan alam dan
gejala-gejala alam yang ada.
Katakanlah
(wahai Muhammad): “Perhatikanlah olehmu (wahai manusia) apa yang ada di langit
dan di bumi! Namun pertanda-pertanda dan peringatan-peringatan itu tidak akan
berguna bagi kaum yang tidak beriman.” (QS. Yunus/10 :
101).
“Pertanda”, “’alâmat”,
atau “âyât” dari Allah itu adalah untuk kaum yang berpikir. Semesta
alam sebagai pertanda Tuhan, tidak akan dimengerti kecuali oleh orang-orang
yang berpikir. Di sini sains memerlukan akal.
Dan
dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada dibumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesunguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS.
45:13, lihat juga QS. Al-Râd/13: 3).
Di balik
“pertanda”, “’âlamat”, atau “âyât” Allah dalam alam kebendaan
(material) ialah hukum-hukum ketetapan Allah (Taqdir Allah) yang pasti. Maka
kajian tentang alam kebendaan menghasilkan pengetahuan kawniyyah tentang
hukum-hukum alam yang pasti (“ilmu eksakta”). Sementara di balik “pertanda”, “’âlamat”,
atau “âyât” Allah dalam alam
kesejarahan manusia (alam sosial) ialah hukum-hukum “Tradisi Allah”
(Sunnatullah) yang tidak akan berubah (pasti), namun punya Variabel yang jauh
lebih banyak daripada yang ada pada hukum alam kebendaan (Taqdir Allah) itu.
Al-Qur'an
memerintahkan manusia untuk memperhatikan dan mempelajari sejarah umat-umat
yang telah lalu sebagai laboratorium alam sosial kemanusiaan. Kajian sejarah
menghasilkan sains tentang Sunnatullah yang meliputi variabel yang sangat
banyak (“ilmu sosial”)
Mereka
tidaklah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami
binasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas)
tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda bagi orang yang berakal (QS.
Thaha/20:128-lihat juga QS. Rum/30:22, 23, 37; al-Fath/48:23; Ali
Imran/3:137 dan al-Fathir/35:43).
“Pertanda”, “’âlamat”,
atau “âyât” adalah juga perumpamaan atau “tamsil-ibarat” (Arab: matsalun,
atau, bentuk jamaknya, amtsalun). Al-Qur'an menyebutkan bahwa tidak ada
yang mampu memahami “secara akal”(rasional) tamsil-ibarat Tuhan kecuali
orang-orang yang berilmu. Penggunaan akal dan sains diperlukan untuk dapat
memahami berbagai perumpamaan dari Allah.
Matsal atau
tamsil-ibarat (metafor, parable) digunakan untuk menggambarkan
wujud-wujud tinggi (high reality), seperti surga dan neraka, yang
sebenarnya tidak dapat diterangkan untuk manusia. Akal atau rasio juga
diperlukan untuk memperoleh pengetahuan tentang wujud-wujud tinggi itu.
Perumpamaan
surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa itu ialah, sungai-sungai
mengalir dari bawahnya, makanannya kekal juga keteduhannya. Itulah kesudahan
mereka yang bertaqwa. Sedangkan kesudahan mereka yang kafir ialah api neraka. (QS.
Al-Rad/13:35 juga QS. Muhammad/47:15).
Al-Qur'an
menyebut bahwa orang-orang yang berilmu dan tegak dengan kejujuran adalah yang
dapat bersaksi (menyadari) tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa, bersama para
malaikat dan Tuhan sendiri. Untuk dapat beriman dan mencapai kebenaran yang
lebih tinggi, seorang ilmuwan harus berdiri tegak di atas kejujuran.
Allah
bersaksi tiada Tuhan selain Dia; para malaikat dan mereka yang sarat dengan
sains berdiri teguh demi keadilan; tiada Tuhan selain Dia, Maha Perkasa, Maha
Bijaksana. (QS. Ali-Imran/3:18).
Al-Qur'an juga
menyebutkan bahwa hanyalah orang-orang berilmu, yaitu mereka yang memahami
dengan baik alam lingkungannya, yang benar-benar dapat meresapi keagungan Tuhan
dan bertaqwa secara mendalam. Maka dengan sains yang ditegakkan di atas
kejujuran, orang akan semakin bertaqwa.
Tidakkah
kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan
dari hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan diantara
gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya
dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) diantara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun. (QS. Al-Fathir/35:27-28).
Sains itu tidak
terbatas. Batasnya ialah sains Allah yang tidak terhingga (karena itu tidak
mungkin terjangkau manusia). Dan manusia tidaklah diberi Allah sains melainkan
sedikit saja. Maka dari itu manusia harus terus-menerus manambah sainsnya yang
hanya sedikit itu, dengan menembus perbatasan (frontier) sains yang ada: harus
selalu melakukan pembaruan dan penambahan sains dengan temuan-temuan baru atau
inovasi (tajdid) terus-menerus.
قُلْ
لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ
تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا {الكهف: 109}.
Katakanlah:"Kalau
sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah
lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu (pula). (QS.
al-Kahfi/18:109).
فَتَعَالَى
اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلاَ تَعْجَلْ بِالْقُرْءَانِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى
إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا {طه: 114}.
Maha
Tinggi Allah, Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa
membaca al-Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah:
"Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku sains".
(QS. Thaha/20:114).
وَالَّذِيْنَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِيْنَ {العنكبوت: 69}.
Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS.
al-Ankabut/29:69).
Pada dasarnya
alam raya ini terbuka. Siapapun dapat mempelajarinya. Sehingga sains pun
terbuka. Maka manusia dianjurkan saling belajar dari sesamanya, tanpa batas
kebangsaan, kedaerahan, kenegaraan, dan keagamaan. Manusia dengan sikap terbuka
dapat belajar dari sesama, dari manapun dan kepada siapapun.
وَالَّذِيْنَ
اجْتَنَبُوْا الطَّاغُوْتَ أَنْ يَعْبُدُوْهَا وَأَنَابُوْا إِلَى اللهِ لَهُمُ
الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ، الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ
فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَاهُمُ اللهُ وَأُولَئِكَ
هُمْ أُولُو اْلأَلْبَابِ {الزمر: 17-18}.
Mereka
yang menjauhi setan, dan tidak terjerumus menyembahnya dan kembali kepada
Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada
hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya.Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang yang arif. (QS.
al-Zumar/39:17-18).
Rasulullah
s.a.w. bersabda, “kalimat kearifan (al-hikmah) adalah barang-hilangnya
orang beriman, maka di manapun ia temukannya, ia adalah lebih berhak
kepadanya.” (Hadits, al-Tirmidzi).
Berdasarkan
perintah-perintah dalam al-Qur'an di atas agar manusia berpikir, menggunakan
akal, dan merenung dengan mendalam (ber-tadabbur) supaya dapat mencapai
keimanan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, maka dapat dikatakan bahwa sains
yang benar adalah “mukadimah” iman yang benar. Di sini letak kewajiban Muslim
menggali sains. Sains adalah sebuah kemestian bagi manusia yang mempunyai
fungsi: pertama, sebagai bekal Allah kepada Adam, dengan sains itu manusia
memahami alam sekitarnya, yang kemudian digunakan untuk membangun bumi ini,
memenuhi tugasnya sebagai khalifah Allah. Kedua, sebagai tujuannya yang lebih
mendalam, dengan sains manusia memahami dan merasakan kehadiran Allah dalam
hidup, sehingga menjadi bertaqwa kepada-Nya, berkiprah dalam kesadaran penuh
dan mendalam akan kehadiran-Nya. Yang pertama menghasilkan kemudahan hidup
(manfaat dari “iptek”), dan yang kedua, yang lebih mendalam, membimbing manusia
beriman kepada keluhuran budi pekerti atau akhlaq.
Pada dasarnya
keunggulan manusia, baik secara pribadi maupun secara kelompok, terletak dalam
adanya iman dan sains sekaligus. “Allah mengangkat mereka yang beriman dan yang
dianugerahi sains beberapa derajat.”
يَاأَيُّهَا
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِي الْمَجَالِسِ
فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوْا الْعِلْمَ
دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيْرٌ {المجادلة: 11}.
Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: berilah tempat dalam
pertemuan, berilah tempat, Allah akan memberi tempat (yang lapang) kepadamu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang
diberi sains pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.
(QS.
al-Mujadilah/58:11).
Landasan karakter pengembangan sains
seperti itu adalah bahwa dalam Islam-selama periode di antara kemunduran
intelektualisme Romawi dengan kebangkitan Eropa-berbagai cabang sains murni
(alam, fisika, sosial dan humaniora) dan sains terapan menyangkut teknik
berkembang secara efektif, yang terus direvitalisasi dengan inovasi-inovasi
yang signifikan dan berpengeruh. Masyarakat Muslim, berhasil mencapai kemajuan
peradaban, dan mempunyai kebanggaan sebagai pusat riset intelektual dan teknik.
Ilmuwan-ilmuwan Muslim mendominasi cakrawala keilmuan dalam berbagai disiplin
sains. Menjelang akhir abad pertengahan, ketika insinyur-insinyur yang sangat
kompeten dibutuhkan, misalnya, untuk membangun jembatan-jembatan yang besar,
ahli-ahli teknik Muslim dipanggil melaksanakan tugas luar biasa tersebut.
Hanya setelah
kekalahan demi kekalahan dialami militer Muslim sejak abad 15, kaum Muslim
mulai kehilangan supremasi keilmuan, dan menjadi konservatif untuk
mempertahankan identitas dasarnya yang diyakini tengah terancam. Pada saat yang
sama, sains Islam yang telah ditransmissikan ke Eropa mulai mengantarkan
masyarakat Barat ke ambang kebangkitan sains dan teknologi.
Masa-masa
kemunduran, handaknya di iringi masa kebangkitan dan kemajuan seiring dengan
bergulirnya perubahan zaman. Penyiapan sumber daya manusia Muslim harus dibekali
penguasaan sains dan teknologi sehingga mampu memiliki keunggulan kompetitif
agar bisa “survive” di tengah persaingan yang semakin ketat. Dengan
demikian kewajiban Muslim menggali sains dan mengembangkan teknologi merupakan
keniscayaan yang tiada dapat dihindari lagi.
1. Al-Qur'an dan as-Sunnah yang Berkaitan dengan
Sains
Islam secara
doktrinal sangat mendukung pengembangan sains. Dalil naqli yang sering
dikemukakan para ahli, misalnya adalah ayat-ayat pertama yang diturunkan Allah
kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana terdapat dalam Surah al-‘Alaq (96) ayat
1-5:
اقْرَأْ بِاسْمِ
رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ
اْلأَكْرَمُ
الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ .
“Bacalah dengan menyebut nama
Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah.
Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Kemudian sering dikemukakan
ayat-ayat yang mengandung pertanyaan retorik dari Allah semacam afala
ta’qilun (“apakah engkau tidak berakal”) atau afala tatafakkarun (“apakah
engkau tidak berpikir”), yang pada intinya mendorong Muslimin untuk menggunakan
dan mengembangkan akal fikirannya-menuntut sains, sebagaimana perintah dalam
mencari ilmu yang telah dijelaskan di atas.
Dengan demikian
al-Qur'an dan Hadith merupakan sumber bagi sains Islam, dalam pengertian
seluas-luasnya. Prof. Dr. Nurcholish Madjid menuturkan kedekatan ilmu
pengetahuan (sains) dengan alam raya sebagai pertanda kekuasaan Allah.
Betapa luasnya
sains Allah tercermin dalam surah 31 ayat 25 s.d. 28.
وَلَئِن
سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَيَقُولَنَّ اللهُ قُلِ
الْحَمْدُ ِللهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَيَعْلَمُونَ {25} ِللهِ مَافِي السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ {26} وَلَوْ أَنَّمَا فِي
اْلأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلاَمٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِن بَعْدِهِ سَبْعَةُ
أَبْحُرٍ مَّانَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللهِ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ {27}
مَّاخَلْقُكُمْ وَلاَبَعْثُكُمْ إِلاَّ كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ
بَصِيرٌ{28} {لقمان: 25-28}.
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada
mereka:"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi" Tentu mereka akan
menjawab: "Allah".Katakanlah:"Segala puji bagi Allah";
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan
yang di bumi.Sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Dan
seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan
habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah.Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam
kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa
saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Dalam Q.S.
Luqman/31 ayat 25 s/d 28 tersebut terdapat beberapa isyarat al-Qur'an untuk
menggali sains. Bahkan asal-usulnya manusia itu buta sains, namun kemudian
dalam proses kehidupan Allah mengaruniai perangkat fisik maupun psikis untuk
memahami sains.
وَاللهُ
أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ
السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ
وَاْلأَفْئِدَةَ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS.
al-Nahl/16:78)
Ayat ini
mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu, pendengaran, mata (penglihatan)
dan akal, serta hati.
Trial and error
(coba-coba), pengamatan, percobaan, dan tes-tes kemungkinan (probability)
merupakan cara-cara yang digunakan ilmuwan untuk meraih sains. Hal itu
disinggung juga oleh al-Qur'an, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan
manusia untuk berpikir tentang alam raya, melakukan perjalanan, dan sebagainya,
kendatipun hanya berkaitan dengan upaya mengetahui alam materi.
قُلِ انظُرُوا
مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
“Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi”
(QS. Yunus/10:101)
أَفَلاَ
يَنظُرُونَ إِلىَ اْلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ .وَإِلىَ السَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ
.
وَإِلىَ الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ . وَإِلىَ
اْلأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
“Apakah
mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana
ia ditinggikan. Dan gunung-gunung
bagaimana ia ditegakkan . Dan bumi bagaimana ia dihamparkan”.(Q.S.
al-Ghasyiyah/88: 17-20)
أَوَ لَمْ يَرَوْا إِلَى
اْلأَرْضِ كَمْ أَنبَتْنَا فِيهَا مِن كُلِّ زَوْجٍ كَرِيمٍ
Apakah mereka tidak memperhatikan bumi? Berapa banyak
Kami tumbuhkan di bumi aneka ragam tumbuhan yang baik? (QS. al-Syu’ara’ /26 :
7)
أفَلَمْ يَسِيرُوا
فِي اْلأَرْضِ
“Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di Bumi... “ (QS.
12: 109: 22: 46: 35: 44: dan lain-lain).
Di samping mata, telinga, dan pikiran sebagai sarana
meraih pengetahuan, Al-Quran pun menggarisbawahi pentingnya peranan kesucian
hati.
Wahyu dianugerahkan atas kehendak
Allah dan berdasarkan kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan campur tangan manusia.
Sementara firasat, intuisi, dan semacamnya, dapat diraih melalui penyucian
hati. Dari sini para ilmuwan Muslim menekankan pentingnya tazkiyah an-nafs
(penyucian jiwa) guna memperoleh hidayat (petunjuk/ pengajaran Allah), karena
mereka sadar terhadap kebenaran firman Allah :
سَأَصْرِفُ عَنْ
ءَايَاتِي الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri
di muka bumi – tanpa alasan yang benar-dari ayat-ayat Ku...(QS.al-A’raf /7:
146).
Berkali-kali pula al-Quran menegaskan bahwa inna Allah
la yahdi, sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada al-zhalimin
(orang-orang yang berlaku aniaya), al-kafirin (orang-orang yang kafir), al-fasiqin
(orang-orang yang fasik), man yudhil (orang-orang yang disesatkan), man
huwa kadzibun kaffar (pembohong lagi amat inkar), musrifun kazzab
(pemboros lagi pembohong), dan lain-lain.
Memang, mereka yang durhaka dapat
saja memperoleh secercah sains Tuhan yang bersifat kasbi, tetapi mereka peroleh
itu terbatas pada sebagian fenomena alam, bukan hakikat (nomena). Bukan pula
yang berkaitan dengan realitas di luar alam materi. Bertolak dari landasan
naqli dan empiris, maka diwajibkan Muslim menggali sains. Dalam konteks ini
Al-Quran menegaskan:
وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ. يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ اْلأَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui. Mereka
hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan tentang
akhirat mereka lalai” (QS al-Rum/ 30: 7).
Para ilmuwan Muslim juga menggarisbawahi pentingnya mengamalkan sains.
Dalam hal ini, ditemukan ungkapan yang dinilai oleh sementara pakar sebagai
hadits Nabi Saw :
مَنْ عَمَلَ بِمَا عُمِلَ أَوْرَثَهُ الله مَالَمْ يَعْلَمْ
“Barangsiapa mengamalkan yang diketahuinya maka Allah
menganugerahkan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya”. (Shihab, 1996:
439)
Sebagian ulama merujuk kepada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 untuk
memperkuat kandungan hadis tersebut.
وَاتَّقُواالله وَيُعَلِّمُكُمُ الله
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Bertakwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajar kamu. Dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu”.
Atas dasar itu semua, al-Quran
memandang bahwa seseorang yang memiliki sains harus memiliki sifat khasyat (takut dan kagum kepada Allah)
sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,
إِنَّمَا يَخْشَى
اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya
adalah ulama (QS Fathir/35 : 28).
Allah Maha Mengetahui, karena segala sifat kesempurnaan
wajib disandang-Nya, sedangkan Maha Mengetahui adalah sifat kesempurnaan. Sains bagi Allah, adalah
terbukanya tabir segala sesuatu dari makhluk yang terbesar hingga terkecil.
“Samudra Sains” Tuhan tidak bisa berubah dan bagi Allah tidak mengenal ruang
dan waktu. Karena Al-Quran adalah kitab petunjuk dan As Sunnah sebagai
“bayan/penjelas” maka pada keduanya tidak heran jika di dalamnya terdapat
berbagai petunjuk tersirat dan tersurat yang berkaitan dengan kewajiban Muslim
menggali sains sebagai bekal memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.
Model Studi Islam
Klasik, Medieval, dan Kontemporer
Periode setelah wafatnya Umar Ibn Al Khattab sampai abad ke 10 M adalah
pusat kehidupan intelektual masyarakat Muslim. Pada saat itu berkembang wacana
pemikiran di bidang politik, hukum, teologi, tasawuf, dan varian pemikiran
Islam lainnya. Kemajuan sains di masa Dinasti Abbasiyyah, bila diteliti corak
kurikulumnya, seluruh madrasah sepenuhnya bermuatan sains agama, yang dalam
klasifikasi sains sekarang ini termasuk ke dalam humaniora (humanities).
Menurut Makdisi dan juga Sayyed Hossein Nasr, hanya di beberapa
madrasah-madrasah saja, khususnya di Persia (Iran), yang mengajarkan beberapa
bidang sains yang diharamkan pada madrasah-madrasah Sunni, seperti filsafat dan
sains eksakta sampai pada masa-masa lebih belakangan (Nasr 1976: 17-9).
Ada beberapa alasan mengapa
legalisme fiqh atau syari’ah bisa begitu dominan terhadap lembaga-lembaga
pendidikan Islam? Pertama, berkaitan dengan pandangan tentang ketinggian
syari’ah dan sains keIslaman. Kedua, bangunan struktur akademis yang cukup
canggih dalam sains keislaman, misalnya masyyakhat Al-Quran (professorship –
guru besar Al-Qur’an), masyyakhat Al-Hadits, masyyakhat Al Thibb dan seterusnya
dalam struktur akademis madrasah. Ketiga, hampir seluruh madrasah atau
al-jami’ah didirikan dan dipertahankan dengan dana wakaf baik dari dermawan
kaya atau penguasa politik Muslim.
Motivasi kesalehan mendorong
para dermawan untuk mengarahkan madrasah dalam lapangan sains agama yang
dipandang akan lebih mendatangkan banyak pahala ketimbang sains “umum” yang
mempunyai aura “profan”- dan karena itu tak terkait begitu jelas dengan soal
pahala. Pada pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah,
apakah karena didorong kepentingan-kepentingan politik tertentu atau motivasi
murni untuk menegakkan “orthodoksi” sunni, sering mendikte madrasah atau “al-jami’ah”
untuk tetap berada dalam kerangka “orthodoksi” itu sendiri, tegasnya dalam
kerangka syari’ah (Azra, 1999: xi). Padahal dalam Islam tidak dikenal pemisahan
esensial antara “sains agama“ dengan “sains profan”.
Berbagai sains dan perspektif
intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mempunyai suatu hirarki.
Tetapi hirarki ini pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang “Yang Maha
Tunggal“- substansi dari segenap sains. Inilah alasan kenapa para ilmuwan
Muslim berusaha mengintegrasikan sains yang dikembangkan peradaban-peradaban
lain ke dalam skema hirarki sains menurut Islam. Dan ini pulalah alasan kenapa
para ‘ulama’, pemikir, filosof dan ilmuwan Muslim sejak dari Al Kindi, Al
Farabi dan Ibn Sina, Ibn Butlan, Ibn Khaldun, sampai Al Ghazali, Nashir al Din
al-Thusi dan Mulla Shadra di era medieval, sangat peduli dengan klasifikasi
Sains (Nasr, 1976 : 13-14).
Menurut Ibn Butlan (w 469/ 1068)
menggambarkan klasifikasi sains, dalam segitiga, dimana sisi sebelah kanan
adalah sains agama, sisi sebelah kiri sains filsafat dan sains alam, dan sisi
bawah adalah sains kesusastraan,
Ibn Khaldun mengklasifikasi ilmu menjadi dua kategori :
1. Sains naqliyyah: al-Quran, hadits, fiqh,
kalam, tashawwuf dan bahasa.
2. Sains aqliyyah: logika, filsafat,
kedokteran, pertanian, geometri, astronomi dsb.
Kemajuan peradaban Islam berkaitan dengan kemajuan seluruh aspek atau
bidang-bidang sains. Bila bagian-bagian besar sains tersebut “dimakruhkan”,
maka terciptalah kepincangan yang pada gilirannya mendorong terjadinya
kemunduran peradaban Islam secara keseluruhan. Kaum Muslim yang disebut sebagai
“Khaira Ummah” akan terbukti bila mampu menangkap pertanda zaman sekaligus
memiliki keungulan teknologi, sebab dalam akar sejarahnya, pernah terbukti
bahwa sains “Aqliyah” yang ditransmissi ke Dunia Eropa mengantarkan “Barat”
mampu mendorong ke arah pencerahan “Aufklarung”, yang pada akhirnya menghasilkan
renaissans dan revolusi industri. Dalam perkembangan labih lanjut, revolusi
industri memunculkan imperialisme dan kolonialisme Eropa dan kini menjelang
pasar bebas dan era kesejagatan.
Di era modern masa kini,
strategi reorientasi pemikiran mengenai strategi pengembangan sains sosial,
humaniora maupun eksakta menjadi keniscayaan guna menyongsong peradaban
gemilang dan sehingga kaum Muslim memperoleh predikat “Khaira Ummah” yang
kaffah.
Obyek sains menurut ilmuwan Muslim Kontemporer mencakup alam materi dan
non materi. Karena itu selain pendekatan Bayani dan Burhani, bisa juga
digunakan pendekatan Irfani. Upaya peningkatan kualitas iman dan taqwa bisa
dilaksanakan dengan proses penelitian dan pengkajian sains. Seperti Psikologi,
sosiologi, antropologi, ilmu hukum, ilmu kesehatan, ilmu budaya. (Pendekatan
Burhani: bersumber dari alam sosial dan manusia dengan pendekatan filsafat dan
sains, juga pendekatan Bayani (bersumber dari nash / teks /wahyu dengan
pendekatan bahasa) dan Irfani (bersumber dari pengalaman keberagaman / ar-ru’yah
al mubashirah dengan pendekatan hati dan intuisi). Kaidah dan hukum-hukum
ilmu tersebut pada hakikatnya adalah sunatullah. Dengan pendekatan tersebut
sains dalam pandangan Islam bersumber pada ayat Kauniyah dan Qauliyah (teks Al-Qur’an dan As Sunnah al
Maqbullah) keduanya menjadi subjek dan objek pemikiran, yang pada gilirannya
dapat lebih mendekatkan taqarrub ila Allah. Sudah barang tentu dengan tindakan Dzikrullah
bi al fikri, bi al qalbi, bi al lisani maupun bi al amali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar