ISLAM & IPTEKS



BAB V

PENGTINGNYA PENGUASAAN IPTEK

 

A. ISYARAT AL-QURAN TENTANG PENTINGNYA PENGUASAAN IPTEK 

Dalam al-Quran banyak sekali disebutkan ayat-ayat yang mendorong umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Kalau dilakukan penelusuran secara seksama, paling tidak dite­mukan tujuh i'tibar dalam bidang iptek yang terdapat dalam al­-Qur'an, yaitu:

  1. Penggalian lubang di tanah, menguburkan mayat dan menimbuninya, seperti yang dipelajari Qabil dari perbuatan gagak, setelah ia membunuh saudara kandungnya, si Habil (Q.S. al-Mai­dah/5:30-31).
  2. Pembuatan, melayarkan dan melabuhkan kapal oleh Nabi Nuh a.s. pada masa menjelang  waktu air bah datang, sehingga terjadi banjir besar. Nabi Nuh dan umatnya yang setia selamat dari banjir tersebut (Q.S. Hud/11:36-44).
  3. Menyucikan, meninggikan pondasi, dan membangun Baitullah oleh Nabi Ibrahim a.s., dibantu oleh Ismail (Q.S. al-Baqarah/ 2:124- 132).
  4. Pengelolaan sumber daya alam dan hasil bumi oleh Nabi Yusuf (Q.S. Yusuf/12:55-56)
  5. Pelunakan besi dan pembuatan baju besi, serta pengendalian dan pemanfaatan bukit-bukit dan burung-burung oleh Nabi Daud (Q. S. al-Anbiya'/21:80 dan Saba'J34:10-11).
  6. Komunikasi dengan burung, semut dan jin, pemanfaatan tenaga angin untuk transportasi, pemanfaatan tenaga burung untuk komunikasi, mata-mata untuk tentara, pemanfaatan tenaga jin untuk tentara, penyelam laut, membangun konstruksi bangunan, patung, kolam dan pencairan tembaga oleh Nabi Sulaiman (Q.S. al-Anbiya'/21:81-82, al-Naml/27:15-28, Saba'/34:12-13, dan Shad/38:34-40).
  7. Penyembuhan orang buta, berpenyakit lepra, dan telepati oleh Nabi Isa a.s. (Q.S. Ali Imran/3:49-50 dan al-Maidah/4:110).

 

Beberapa informasi Qur'ani itu, mestinya iptek bukanlah hal yang asing bagi umat Islam. Karena peristiwa sejarah masa lalu itu tetap memiliki nilai kegunaan yang tinggi bagi umat sesudahnya. Sejarah bukan sustu peristiwa statis yang hanya dinikmati, dirasakan dan diambil oleh pelaku dan masyarakat sezamannya, melainkan sejarah sesuatu yang ilinamis, yang dapat diambil hikmah dan nilai. Maka sejarah itu harus dihadirkan, direfleksikan ke masa kini dan masa depan.

Selain itu, dalam ayat-ayat yang lain sebagaimana banyak dising­gung pada pembahasan di awal, ditemukan ayat-ayat yang mendo­rong manusia untuk menguasai iptek. Karena bagaimana pun juga, iptek sangat dibutuhkan dalam memajukan kehidupan manusia. Iptek akan terus berkembang seirama tingkat daya intelektualitas manusia dalam merespon dan meramalkan kemungkinan atau kecenderungan kehidupan manusia masa depan.

Ahmad Watik Pratiknya dan Muhammadi, keduanya aktif dalam Persyarikatan Muhammadiyah, menangkap respon umat Islam dalam mensikapi perkembangan iptek walaupun dengan redaksi yang ber beda, tetapi tetap dalam substansi yang sama. Menurutnya, ada dua sikap yakni: (1) melihat berbagai perkembangan iptek dan kecen­derungannya secara utopistik, oportunistik berlebihan, dan berangga­pan mestinya begitulah kehidupan moderen. Mereka menganggap Iptek sebagai variabel perubahan yang bersifat mutlak dan dominan. (2) melihat berbagai perkembangan iptek dan kecenderungannya secara distopistik, pesimis dan cemas berlebihan. Mereka melihat perkembangan iptek sebagai sumber bencana bagi masa depan manu­sia, dan penuh dengan kekhawatiran Iptek akan mencerabut ke­budayaan manusia dari akarnya, mencerabut nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.

Munculnya dua sikap itu lebih didasarkan pada realitas, antara lain: (1) pertimbangan bias masyarakat, baik bias keilmuan maupun bias kepercayaan. Hal ini terjadi karena penempatan ilmu dan agama secara dikhotomis yang berkembang dalam masyarakat. (2) Pen­dekatan yang bersifat parsial terhadap kemaknaan iptek bagi kehidu­pan manusia. Pendekatan parsial ini dapat terjadi karena keterbatasan informasi mengenai Iptek itu sendiri. (3) Tiadanya pemahaman filo­sofik-konseptual yang adekuat tentang Iptek.

Pandangan yang proporsional, dapat dikembangkan apabila di­landasi oleh pandangan dasar yang menempatkan Iptek tetap sebagai alat bagi manusia untuk berinteraksi dengan dirinya dan lingkungannya. Oleh karena itu kehadiran dan perkembangan Iptek merupakan suatu keharusan sejarah (sunnatullah). Karena merupakan keharusan sejarah maka tidak bisa ditawar lagi umat, umat Islam harus menguasai, da­lam rangka pengalaman  Islam secara integratif. Menunjukkan kepada dunia, bahwa Islam tidak hanya mengajarkan tentang ibadah saja, tetapi juga mengajarkan tentang Iptek.

Bagaimana dengan al-Qur'an, apakah mengandung ajaran-ajaran tentang Iptek secara kongkrit, definitif dan rinci? Dalam al-Qur'an di­temukan tidak kurang dari sepuluh persen ayat-ayatnya merupakan rujukan-rujukan kepada fenomena alam. Namun demikian, ada dua pandangan tentang keutuhan materi al-Qur'an yang berkenaan deng­an Iptek.

Pandangan pertama, mengatakan bahwa al-Qur'an memuat seluruh bentuk pengetahuan termasuk disiplin-disiplinnya. Pandangan ini karena  menempatkan al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan mukjizat al-Qur'an dalam lapangan keilmuan untuk meyakinkan orang-orang non muslim akan keagungan dan keunikan al-Qur'an, dan untuk menjadikan kaum muslimin bangga memiliki kitab suci. Yang masuk dalam kelompok pertama ini misalnya al-Ghazali, dalam kitab Ihya 'Ulum al-Din, ia mengutip kata-kata Ibnu Mas'ud: "Jika seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modem, selayaknya dia merenungkan al-Qur'an". Ringkasnya, seluruh ilmu tercakup di dalam  karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan al-Qur'an adalah penjelasan esensi, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Dalam bukunya yang lain, Jawahir al-Quran, dikatakan bahwa "prinsip-prinsip ilmu yang telah kami jelaskan dan yang belum kami spesifikasi­kan, bukanlah di luar al-Qur’an, karena seluruh ilmu ini diraih dari salah satu lautan pengetahuan-Nya. Telah kami sebutkan bahwa al-Qur'an itu laksana lautan yang tak bertepi, dan bahwa sekiranya lautan itu menjadi tinta (untuk menjelaskan) kata-kata Tuhanku, sungguh lautan itu akan babis sebelum kata- kata Tuhan itu berakhir".

Tokoh lainnya adalah al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur’an, mengatakan al-Qur’an mencakup seluruh ilmu-ilmu baik yang klasik maupun yang tergolong modern (Q. S. al An'am/6:38, al-Nahl/16: 89). Juga dikemukakan oleh Abd. Al-Rahman al-Kawakibi dalam kitabnya, Thab' al-Istibdad (Hakikat Depotisme): “pada abad-abad sekarang, sains telah mengungkapkan berbagai fakta dan ini semua dinisbahkan kepada para penemunya, orang-orang Eropa dan Amerika. Tapi mereka yang menelaah al-­Qur'an dengan cermat akan menemukan bahwa kebanyakan fakta-­fakta tersebut dinyatakan secara eksplisit dan implisit dalam al-­Qur'an sejak tiga belas abad yang lalu”.  `Abd Razaq Naufal dalam bukunya, The Qur'an and Modern Science, mengatakan bahwa: “ketika kita membuktikan kepada orang-orang non-Arab bahwa al­Qur'an itu mengandung prinsip-prinsip sains modern dan telah mem­bicarakan setiap fenomena keilmuan baru, apakah keajaiban al-Qur'an ini tak cukup untuk menarik perhatian mereka terhadap al-Qur'an?”. Begitu juga Maurice Bucaille dalam bukunya, The Bible, the Qur'an, and Science, lebih tegas mengatakan bahwa: “al-Qur'an memiliki kesesuaian yang sempurna dengan sains mo­dern,  pengetahuan sains modern memberi kesempatan untuk mema­hami ayat-ayat al-Qur'an, dimana ayat-ayat itu sampai dewasa ini tidak mungkin ditafsirkan”.

Pandangan kedua, mengatakan bahwa al-Qur'an itu semata-mata sebagai Kitab Petunjuk, dan di dalamnya tidak ada tempat bagi ilmu pengetahuan dan teknologi. Pandangan kedua ini sebagai bentuk reaksi dari pandangan pertama, dipelopori misalnya, oleh Abu Ishak al-Syathibi, yang dikutip oleh al-Dhahabi dalam al-Tafsir wa al-Mu­fassirun, bahwa orang-orang saleh pendahulu itu lebih mema­hami al-Qur'an daripada kita, dan mereka tidak berbicara tentang bentuk ilmu tersebut. Argumentasi yang mendukung pandangan kedua, bisa disimpulkan dalam empat hal, yaitu: (1) tidaklah benar menafsirkan kata-kata al-Qur'an dengan cara yang tidak diketahui oleh orang-orang Arab pada masa Nabi. (2) Al-Qur'an tidak diwah­yukan untuk mengajari kita sains dan teknologi, tapi merupakan Kitab petunjuk. Masalah Iptek di luar tujuan diwahyukan al-Qur'an. (3) Sains belum mencapai tingkat kemajuan yang sempurna, maka tidak benar menafsirkan al-Qur'an menurut teori-teori yang dapat berubah. (4) Sudah menjadi kehendak Allah, manusia dapat menemukan raha­sia-rahasia alam dengan menggunakan indera dan daya intelektual­nya. Jika al-Qur'an mencakup seluruh Iptek, maka akal manusia pun akan menjadi jumud dan kebebasan manusia menjadi tidak bermakna.

 Dua pandangan yang kelihatannya kontradiktif tersebut, ada pandangan ketiga yang dikemukakan oleh Syaikh Musthafa al-Ma­raghi, yang dijelaskan dalam pengantar buku Ismail Pasha  berjudul Islam and Modern Medicine. Dikatakan, “bukanlah maksud saya untuk mengatakan bahwa Kitab Suci ini mencakup secara rinci atau ringkas seluruh sains dalam gaya buku-buku teks, tapi saya ingin mengatakan bahwa al-Qur'an mengandung prinsip-prinsip umum”.

Yang perlu digarisbawahi dari berbagai pandangan di atas adalah bahwa al-Qur'an tetap diletakkan sebagai Kitab petunjuk dalan kehidupan manusia yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip umum dan etik tentang Iptek. Sementara rumusan dan perincian Iptek sam­pai pada tingkat penerapannya sangat tergantung pada manusia itu sendiri. Karena manusia dengan akalnya mampu membedakan yang baik dan benar, yang membawa maslahah dan yang menghancurkan. Tapi ingat, semua yang dikerjakan oleh manusia akan dimintai per­tanggunganjawaban ddi hadapan Allah. Kalau ia megembangkan iptek untuk kemaslahatan umat manusia (baik), sorga jaminannya, semen­tara kalau Iptek yang diciptakan untuk menghancurkan peradaban umat manusia, neraka sebagai tempat kembalinya.

 

 

B.     KEWAJIBAN MUSLIM MENGGALI ILMU PENGETAHUAN

Al Islam sebagai agama yang bersumber teks Al-Qur’an dan Assunah Almaqbulah menjadi subyek dan obyek pemikiran. Dalam pandangan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., kedua sumber pokok Islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan sains. Pertama, prinsip-prinsip seluruh sains dipandang kaum Muslim terdapat dalam al-Qur'an. Dan sejauh pemahaman terhadap al-Qur'an, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris (ma’nawi) terhadap Kitab Suci ini, yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pembangunan paradigma sains.

Kedua, al-Qur'an dan Assunah almaqbulah menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan sains dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut sains pencarian sains dalam segi apapun berujung pada penegasan Tauhid-Keunikan dan Keesaan Tuhan. Karenanya, seluruh metafisika dan kosmologi yang terbit dari kandungan al-Qur'an dan As-sunah al-maqbulah merupakan dasar pembangunan dan pengembangan sains. Kedua sumber pokok ini, singkatnya, menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam.

Dengan watak pandangan dunia (worldview) inklusif seperti itu, maka tidak aneh kalau spektrum pengembangan sains dalam Islam menjadi sangat luas. Sebagaimana dibuktikan dalam sejarah, ilmuwan Muslim menerima warisan sains dari berbagai pihak: sejak dari Yunani. India, Cina dan sebagainya. Tetapi dalam proses transmissi sains itu ilmuwan Muslim tidak berlaku pasif. Seperti dikemukakan Nasr dalam Islamic Science: An Illustrated Study (1976, h. 9):

“Sains Islam muncul dari perkawinan antara semangat yang terbit dari wahyu Qur’ani dengan sains yang ada dari berbagai peradaban, yang diwarisi Islam yang ditelaah diubah-bentuk melalui kekuatan rohaniahnya menjadi suatu substansi baru; yang berbeda dan sekaligus melanjutkan apa yang telah ada sebelumnya. Sifat internasional dan kosmopolitan wahyu Islam-yang bersuber dari karakter universal wahyu Islam dan tercermin dalam penyebaran geografis Islam (dâr al-Islâm)-membuat Islam mampu menciptakan sains pertama yang benar-benar bersifat internasional dalam sejarah manusia”.

Dalam tinjauan ilmiah kebahasaan Nurcholish Madjid mengemukakan sains kealaman dan sains sosial dimulai dengan penuturan sebagai berikut: Umat manusia, yaitu keturunan Adam (Bani Adam) hidup dalam lingkungan yang disebut alam (âlam). Dari segi kebahasan, perkara “alam” (Arab: âlam-un) adalah satu akar kata dengan perkataan “ilmu” (Arab: ‘ilm-un), juga dengan kata-kata “alamat” (Arab: ‘alâmat-un). Dan pengertian “alamat” atau “pertanda” itulah yang juga terkandung dalam perkataan “ayat” (Arab: âyât-un). Jadi jagad raya adalah “alamat” atau “ayat” Tuhan. Karena itu “alam” merupakan sumber “ilmu” manusia. Manusia diperintahkan untuk memperhatikan alam dan gejala-gejala alam yang ada.

Katakanlah (wahai Muhammad): “Perhatikanlah olehmu (wahai manusia) apa yang ada di langit dan di bumi! Namun pertanda-pertanda dan peringatan-peringatan itu tidak akan berguna bagi kaum yang tidak beriman.” (QS. Yunus/10 : 101).

“Pertanda”, “’alâmat”, atau “âyât” dari Allah itu adalah untuk kaum yang berpikir. Semesta alam sebagai pertanda Tuhan, tidak akan dimengerti kecuali oleh orang-orang yang berpikir. Di sini sains memerlukan akal.

Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada dibumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesunguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. 45:13, lihat juga QS. Al-Râd/13: 3).

Di balik “pertanda”, “’âlamat”, atau “âyât” Allah dalam alam kebendaan (material) ialah hukum-hukum ketetapan Allah (Taqdir Allah) yang pasti. Maka kajian tentang alam kebendaan menghasilkan pengetahuan kawniyyah tentang hukum-hukum alam yang pasti (“ilmu eksakta”). Sementara di balik “pertanda”, “’âlamat”, atau “âyât”  Allah dalam alam kesejarahan manusia (alam sosial) ialah hukum-hukum “Tradisi Allah” (Sunnatullah) yang tidak akan berubah (pasti), namun punya Variabel yang jauh lebih banyak daripada yang ada pada hukum alam kebendaan (Taqdir Allah) itu.

Al-Qur'an memerintahkan manusia untuk memperhatikan dan mempelajari sejarah umat-umat yang telah lalu sebagai laboratorium alam sosial kemanusiaan. Kajian sejarah menghasilkan sains tentang Sunnatullah yang meliputi variabel yang sangat banyak (“ilmu sosial”)

Mereka tidaklah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami binasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (QS. Thaha/20:128-lihat juga QS. Rum/30:22, 23, 37; al-Fath/48:23; Ali Imran/3:137 dan al-Fathir/35:43).

“Pertanda”, “’âlamat”, atau “âyât” adalah juga perumpamaan atau “tamsil-ibarat” (Arab: matsalun, atau, bentuk jamaknya, amtsalun). Al-Qur'an menyebutkan bahwa tidak ada yang mampu memahami “secara akal”(rasional) tamsil-ibarat Tuhan kecuali orang-orang yang berilmu. Penggunaan akal dan sains diperlukan untuk dapat memahami berbagai perumpamaan dari Allah.

Matsal atau tamsil-ibarat (metafor, parable) digunakan untuk menggambarkan wujud-wujud tinggi (high reality), seperti surga dan neraka, yang sebenarnya tidak dapat diterangkan untuk manusia. Akal atau rasio juga diperlukan untuk memperoleh pengetahuan tentang wujud-wujud tinggi itu.

Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa itu ialah, sungai-sungai mengalir dari bawahnya, makanannya kekal juga keteduhannya. Itulah kesudahan mereka yang bertaqwa. Sedangkan kesudahan mereka yang kafir ialah api neraka. (QS. Al-Rad/13:35 juga QS. Muhammad/47:15).

Al-Qur'an menyebut bahwa orang-orang yang berilmu dan tegak dengan kejujuran adalah yang dapat bersaksi (menyadari) tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa, bersama para malaikat dan Tuhan sendiri. Untuk dapat beriman dan mencapai kebenaran yang lebih tinggi, seorang ilmuwan harus berdiri tegak di atas kejujuran.

Allah bersaksi tiada Tuhan selain Dia; para malaikat dan mereka yang sarat dengan sains berdiri teguh demi keadilan; tiada Tuhan selain Dia, Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (QS. Ali-Imran/3:18).

Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa hanyalah orang-orang berilmu, yaitu mereka yang memahami dengan baik alam lingkungannya, yang benar-benar dapat meresapi keagungan Tuhan dan bertaqwa secara mendalam. Maka dengan sains yang ditegakkan di atas kejujuran, orang akan semakin bertaqwa.

Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dari hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Fathir/35:27-28).

Sains itu tidak terbatas. Batasnya ialah sains Allah yang tidak terhingga (karena itu tidak mungkin terjangkau manusia). Dan manusia tidaklah diberi Allah sains melainkan sedikit saja. Maka dari itu manusia harus terus-menerus manambah sainsnya yang hanya sedikit itu, dengan menembus perbatasan (frontier) sains yang ada: harus selalu melakukan pembaruan dan penambahan sains dengan temuan-temuan baru atau inovasi (tajdid) terus-menerus.

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا {الكهف: 109}.

Katakanlah:"Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). (QS. al-Kahfi/18:109).

 

فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلاَ تَعْجَلْ بِالْقُرْءَانِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا {طه: 114}.

Maha Tinggi Allah, Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku sains". (QS. Thaha/20:114).

 

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ {العنكبوت: 69}.

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-Ankabut/29:69).

Pada dasarnya alam raya ini terbuka. Siapapun dapat mempelajarinya. Sehingga sains pun terbuka. Maka manusia dianjurkan saling belajar dari sesamanya, tanpa batas kebangsaan, kedaerahan, kenegaraan, dan keagamaan. Manusia dengan sikap terbuka dapat belajar dari sesama, dari manapun dan kepada siapapun.

وَالَّذِيْنَ اجْتَنَبُوْا الطَّاغُوْتَ أَنْ يَعْبُدُوْهَا وَأَنَابُوْا إِلَى اللهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ، الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَاهُمُ اللهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو اْلأَلْبَابِ {الزمر: 17-18}.

Mereka yang menjauhi setan, dan tidak terjerumus menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang yang arif. (QS. al-Zumar/39:17-18).

Rasulullah s.a.w. bersabda, “kalimat kearifan (al-hikmah) adalah barang-hilangnya orang beriman, maka di manapun ia temukannya, ia adalah lebih berhak kepadanya.” (Hadits, al-Tirmidzi).

Berdasarkan perintah-perintah dalam al-Qur'an di atas agar manusia berpikir, menggunakan akal, dan merenung dengan mendalam (ber-tadabbur) supaya dapat mencapai keimanan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, maka dapat dikatakan bahwa sains yang benar adalah “mukadimah” iman yang benar. Di sini letak kewajiban Muslim menggali sains. Sains adalah sebuah kemestian bagi manusia yang mempunyai fungsi: pertama, sebagai bekal Allah kepada Adam, dengan sains itu manusia memahami alam sekitarnya, yang kemudian digunakan untuk membangun bumi ini, memenuhi tugasnya sebagai khalifah Allah. Kedua, sebagai tujuannya yang lebih mendalam, dengan sains manusia memahami dan merasakan kehadiran Allah dalam hidup, sehingga menjadi bertaqwa kepada-Nya, berkiprah dalam kesadaran penuh dan mendalam akan kehadiran-Nya. Yang pertama menghasilkan kemudahan hidup (manfaat dari “iptek”), dan yang kedua, yang lebih mendalam, membimbing manusia beriman kepada keluhuran budi pekerti atau akhlaq.

Pada dasarnya keunggulan manusia, baik secara pribadi maupun secara kelompok, terletak dalam adanya iman dan sains sekaligus. “Allah mengangkat mereka yang beriman dan yang dianugerahi sains beberapa derajat.”

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيْرٌ {المجادلة: 11}.

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: berilah tempat dalam pertemuan, berilah tempat, Allah akan memberi tempat (yang lapang) kepadamu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi sains pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

(QS. al-Mujadilah/58:11).

Landasan karakter pengembangan sains seperti itu adalah bahwa dalam Islam-selama periode di antara kemunduran intelektualisme Romawi dengan kebangkitan Eropa-berbagai cabang sains murni (alam, fisika, sosial dan humaniora) dan sains terapan menyangkut teknik berkembang secara efektif, yang terus direvitalisasi dengan inovasi-inovasi yang signifikan dan berpengeruh. Masyarakat Muslim, berhasil mencapai kemajuan peradaban, dan mempunyai kebanggaan sebagai pusat riset intelektual dan teknik. Ilmuwan-ilmuwan Muslim mendominasi cakrawala keilmuan dalam berbagai disiplin sains. Menjelang akhir abad pertengahan, ketika insinyur-insinyur yang sangat kompeten dibutuhkan, misalnya, untuk membangun jembatan-jembatan yang besar, ahli-ahli teknik Muslim dipanggil melaksanakan tugas luar biasa tersebut.

Hanya setelah kekalahan demi kekalahan dialami militer Muslim sejak abad 15, kaum Muslim mulai kehilangan supremasi keilmuan, dan menjadi konservatif untuk mempertahankan identitas dasarnya yang diyakini tengah terancam. Pada saat yang sama, sains Islam yang telah ditransmissikan ke Eropa mulai mengantarkan masyarakat Barat ke ambang kebangkitan sains dan teknologi.

Masa-masa kemunduran, handaknya di iringi masa kebangkitan dan kemajuan seiring dengan bergulirnya perubahan zaman. Penyiapan sumber daya manusia Muslim harus dibekali penguasaan sains dan teknologi sehingga mampu memiliki keunggulan kompetitif agar bisa “survive” di tengah persaingan yang semakin ketat. Dengan demikian kewajiban Muslim menggali sains dan mengembangkan teknologi merupakan keniscayaan yang tiada dapat dihindari lagi.

 

1.   Al-Qur'an dan as-Sunnah yang Berkaitan dengan Sains

Islam secara doktrinal sangat mendukung pengembangan sains. Dalil naqli yang sering dikemukakan para ahli, misalnya adalah ayat-ayat pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana terdapat dalam Surah al-‘Alaq (96) ayat 1-5:

 

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ .

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.

 

Kemudian sering dikemukakan ayat-ayat yang mengandung pertanyaan retorik dari Allah semacam afala ta’qilun (“apakah engkau tidak berakal”) atau afala tatafakkarun (“apakah engkau tidak berpikir”), yang pada intinya mendorong Muslimin untuk menggunakan dan mengembangkan akal fikirannya-menuntut sains, sebagaimana perintah dalam mencari ilmu yang telah dijelaskan di atas.      

Dengan demikian al-Qur'an dan Hadith merupakan sumber bagi sains Islam, dalam pengertian seluas-luasnya. Prof. Dr. Nurcholish Madjid menuturkan kedekatan ilmu pengetahuan (sains) dengan alam raya sebagai pertanda kekuasaan Allah.

Betapa luasnya sains Allah tercermin dalam surah 31 ayat 25 s.d. 28.

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَيَقُولَنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ ِللهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَيَعْلَمُونَ {25} ِللهِ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ {26} وَلَوْ أَنَّمَا فِي اْلأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلاَمٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِن بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَّانَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللهِ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ {27} مَّاخَلْقُكُمْ وَلاَبَعْثُكُمْ إِلاَّ كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ{28} {لقمان: 25-28}.

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi" Tentu mereka akan menjawab: "Allah".Katakanlah:"Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.  Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi.Sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah.Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

 

Dalam Q.S. Luqman/31 ayat 25 s/d 28 tersebut terdapat beberapa isyarat al-Qur'an untuk menggali sains. Bahkan asal-usulnya manusia itu buta sains, namun kemudian dalam proses kehidupan Allah mengaruniai perangkat fisik maupun psikis untuk memahami sains.

 

وَاللهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ

وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. al-Nahl/16:78)

 

Ayat ini mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu, pendengaran, mata (penglihatan) dan akal, serta hati.

Trial and error (coba-coba), pengamatan, percobaan, dan tes-tes kemungkinan (probability) merupakan cara-cara yang digunakan ilmuwan untuk meraih sains. Hal itu disinggung juga oleh al-Qur'an, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berpikir tentang alam raya, melakukan perjalanan, dan sebagainya, kendatipun hanya berkaitan dengan upaya mengetahui alam materi.

قُلِ انظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ

“Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi” (QS. Yunus/10:101)

 

أَفَلاَ يَنظُرُونَ إِلىَ اْلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ .وَإِلىَ السَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ .

 وَإِلىَ الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ . وَإِلىَ اْلأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan.  Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan . Dan bumi bagaimana ia dihamparkan”.(Q.S. al-Ghasyiyah/88: 17-20)

 

أَوَ لَمْ يَرَوْا إِلَى اْلأَرْضِ كَمْ أَنبَتْنَا فِيهَا مِن كُلِّ زَوْجٍ كَرِيمٍ

Apakah mereka tidak memperhatikan bumi? Berapa banyak Kami tumbuhkan di bumi aneka ragam tumbuhan yang baik? (QS. al-Syu’ara’ /26 : 7)

 

أفَلَمْ يَسِيرُوا فِي اْلأَرْضِ

 

“Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di Bumi... “ (QS. 12: 109: 22: 46: 35: 44: dan lain-lain).

Di samping mata, telinga, dan pikiran sebagai sarana meraih pengetahuan, Al-Quran pun menggarisbawahi pentingnya peranan kesucian hati.

 Wahyu dianugerahkan atas kehendak Allah dan berdasarkan kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan campur tangan manusia. Sementara firasat, intuisi, dan semacamnya, dapat diraih melalui penyucian hati. Dari sini para ilmuwan Muslim menekankan pentingnya tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa) guna memperoleh hidayat (petunjuk/ pengajaran Allah), karena mereka sadar terhadap kebenaran firman Allah :

سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِي الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi – tanpa alasan yang benar-dari ayat-ayat Ku...(QS.al-A’raf /7: 146).

 

Berkali-kali pula al-Quran menegaskan bahwa inna Allah la yahdi, sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada al-zhalimin (orang-orang yang berlaku aniaya), al-kafirin (orang-orang yang kafir), al-fasiqin (orang-orang yang fasik), man yudhil (orang-orang yang disesatkan), man huwa kadzibun kaffar (pembohong lagi amat inkar), musrifun kazzab (pemboros lagi pembohong), dan lain-lain.

 Memang, mereka yang durhaka dapat saja memperoleh secercah sains Tuhan yang bersifat kasbi, tetapi mereka peroleh itu terbatas pada sebagian fenomena alam, bukan hakikat (nomena). Bukan pula yang berkaitan dengan realitas di luar alam materi. Bertolak dari landasan naqli dan empiris, maka diwajibkan Muslim menggali sains. Dalam konteks ini Al-Quran menegaskan:

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ. يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ اْلأَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

 

“Tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan tentang akhirat mereka lalai” (QS al-Rum/ 30: 7).

 

Para ilmuwan Muslim juga menggarisbawahi pentingnya mengamalkan sains. Dalam hal ini, ditemukan ungkapan yang dinilai oleh sementara pakar sebagai hadits Nabi Saw :

مَنْ عَمَلَ بِمَا عُمِلَ أَوْرَثَهُ الله مَالَمْ يَعْلَمْ

“Barangsiapa mengamalkan yang diketahuinya maka Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya”. (Shihab, 1996: 439)

Sebagian ulama merujuk kepada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 untuk memperkuat kandungan hadis tersebut.

        وَاتَّقُواالله وَيُعَلِّمُكُمُ الله بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Bertakwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajar kamu. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

Atas dasar itu semua,  al-Quran memandang bahwa seseorang yang memiliki sains harus memiliki sifat  khasyat (takut dan kagum kepada Allah) sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah ulama (QS Fathir/35 : 28).

 

Allah Maha Mengetahui, karena segala sifat kesempurnaan wajib disandang-Nya, sedangkan Maha Mengetahui adalah sifat kesempurnaan. Sains bagi Allah, adalah terbukanya tabir segala sesuatu dari makhluk yang terbesar hingga terkecil. “Samudra Sains” Tuhan tidak bisa berubah dan bagi Allah tidak mengenal ruang dan waktu. Karena Al-Quran adalah kitab petunjuk dan As Sunnah sebagai “bayan/penjelas” maka pada keduanya tidak heran jika di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tersirat dan tersurat yang berkaitan dengan kewajiban Muslim menggali sains sebagai bekal memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

 

2.      Model Studi Islam Klasik, Medieval, dan Kontemporer

Periode setelah wafatnya Umar Ibn Al Khattab sampai abad ke 10 M adalah pusat kehidupan intelektual masyarakat Muslim. Pada saat itu berkembang wacana pemikiran di bidang politik, hukum, teologi, tasawuf, dan varian pemikiran Islam lainnya. Kemajuan sains di masa Dinasti Abbasiyyah, bila diteliti corak kurikulumnya, seluruh madrasah sepenuhnya bermuatan sains agama, yang dalam klasifikasi sains sekarang ini termasuk ke dalam humaniora (humanities).

Menurut Makdisi dan juga Sayyed Hossein Nasr, hanya di beberapa madrasah-madrasah saja, khususnya di Persia (Iran), yang mengajarkan beberapa bidang sains yang diharamkan pada madrasah-madrasah Sunni, seperti filsafat dan sains eksakta sampai pada masa-masa lebih belakangan (Nasr 1976: 17-9).

 Ada beberapa alasan mengapa legalisme fiqh atau syari’ah bisa begitu dominan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam? Pertama, berkaitan dengan pandangan tentang ketinggian syari’ah dan sains keIslaman. Kedua, bangunan struktur akademis yang cukup canggih dalam sains keislaman, misalnya masyyakhat Al-Quran (professorship – guru besar Al-Qur’an), masyyakhat Al-Hadits, masyyakhat Al Thibb dan seterusnya dalam struktur akademis madrasah. Ketiga, hampir seluruh madrasah atau al-jami’ah didirikan dan dipertahankan dengan dana wakaf baik dari dermawan kaya atau penguasa politik Muslim.

 Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah dalam lapangan sains agama yang dipandang akan lebih mendatangkan banyak pahala ketimbang sains “umum” yang mempunyai aura “profan”- dan karena itu tak terkait begitu jelas dengan soal pahala. Pada pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, apakah karena didorong kepentingan-kepentingan politik tertentu atau motivasi murni untuk menegakkan “orthodoksi” sunni, sering mendikte madrasah atau “al-jami’ah” untuk tetap berada dalam kerangka “orthodoksi” itu sendiri, tegasnya dalam kerangka syari’ah (Azra, 1999: xi). Padahal dalam Islam tidak dikenal pemisahan esensial antara “sains agama“ dengan “sains profan”.

 Berbagai sains dan perspektif intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mempunyai suatu hirarki. Tetapi hirarki ini pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang “Yang Maha Tunggal“- substansi dari segenap sains. Inilah alasan kenapa para ilmuwan Muslim berusaha mengintegrasikan sains yang dikembangkan peradaban-peradaban lain ke dalam skema hirarki sains menurut Islam. Dan ini pulalah alasan kenapa para ‘ulama’, pemikir, filosof dan ilmuwan Muslim sejak dari Al Kindi, Al Farabi dan Ibn Sina, Ibn Butlan, Ibn Khaldun, sampai Al Ghazali, Nashir al Din al-Thusi dan Mulla Shadra di era medieval, sangat peduli dengan klasifikasi Sains (Nasr, 1976 : 13-14).

 Menurut Ibn Butlan (w 469/ 1068) menggambarkan klasifikasi sains, dalam segitiga, dimana sisi sebelah kanan adalah sains agama, sisi sebelah kiri sains filsafat dan sains alam, dan sisi bawah adalah sains kesusastraan,

 

 

Ibn Khaldun mengklasifikasi ilmu menjadi dua kategori :

1.    Sains naqliyyah: al-Quran, hadits, fiqh, kalam, tashawwuf dan bahasa.

2.    Sains aqliyyah: logika, filsafat, kedokteran, pertanian, geometri, astronomi dsb.

Kemajuan peradaban Islam berkaitan dengan kemajuan seluruh aspek atau bidang-bidang sains. Bila bagian-bagian besar sains tersebut “dimakruhkan”, maka terciptalah kepincangan yang pada gilirannya mendorong terjadinya kemunduran peradaban Islam secara keseluruhan. Kaum Muslim yang disebut sebagai “Khaira Ummah” akan terbukti bila mampu menangkap pertanda zaman sekaligus memiliki keungulan teknologi, sebab dalam akar sejarahnya, pernah terbukti bahwa sains “Aqliyah” yang ditransmissi ke Dunia Eropa mengantarkan “Barat” mampu mendorong ke arah pencerahan “Aufklarung”, yang pada akhirnya menghasilkan renaissans dan revolusi industri. Dalam perkembangan labih lanjut, revolusi industri memunculkan imperialisme dan kolonialisme Eropa dan kini menjelang pasar bebas dan era kesejagatan.

 Di era modern masa kini, strategi reorientasi pemikiran mengenai strategi pengembangan sains sosial, humaniora maupun eksakta menjadi keniscayaan guna menyongsong peradaban gemilang dan sehingga kaum Muslim memperoleh predikat “Khaira Ummah” yang kaffah.

Obyek sains menurut ilmuwan Muslim Kontemporer mencakup alam materi dan non materi. Karena itu selain pendekatan Bayani dan Burhani, bisa juga digunakan pendekatan Irfani. Upaya peningkatan kualitas iman dan taqwa bisa dilaksanakan dengan proses penelitian dan pengkajian sains. Seperti Psikologi, sosiologi, antropologi, ilmu hukum, ilmu kesehatan, ilmu budaya. (Pendekatan Burhani: bersumber dari alam sosial dan manusia dengan pendekatan filsafat dan sains, juga pendekatan Bayani (bersumber dari nash / teks /wahyu dengan pendekatan bahasa) dan Irfani (bersumber dari pengalaman keberagaman / ar-ru’yah al mubashirah dengan pendekatan hati dan intuisi). Kaidah dan hukum-hukum ilmu tersebut pada hakikatnya adalah sunatullah. Dengan pendekatan tersebut sains dalam pandangan Islam bersumber pada ayat Kauniyah dan  Qauliyah (teks Al-Qur’an dan As Sunnah al Maqbullah) keduanya menjadi subjek dan objek pemikiran, yang pada gilirannya dapat lebih mendekatkan taqarrub ila Allah. Sudah barang tentu dengan tindakan Dzikrullah bi al fikri, bi al qalbi, bi al lisani maupun bi al amali.

 

Tidak ada komentar: