Jumat, 18 November 2016

HOMO ECOLOGIUS



EKOLOGI PROFETIK
 
Pada dasarnya manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungan. Karena itu dalam perspektif ekologi manusia juga disebut sebagai homo ecologius  (makhluk lingkungan). Artinya, dalam melaksanakan fungsi dan posisinya sebagai salah satu sub dari ekosistem, manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk memahami, menjaga, dan hidup serasi dengan lingkungannya.
Hal itu juga diperkuat dengan dasar-dasar teologis, yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah, tentang keharusan manusia memahami, menjaga, merestorasi, dan hidup berdampingan dengan lingkungan. Terlalu mudah untuk menyebutkan landasan normatif tentang seruan agar manusia serius menjaga lingkungan hidup, yang unsur-unsurnya meliputi tanaman, binatang, air, tanah, dan udara.

Selasa, 06 September 2016

ANTAR ANAK


ANTAR ANAK

Beberapa hari sebelum diganti Mendikbud Anies Baswedan menyerukan agar orang tua mengantarkan anaknya hari pertama masuk sekolah, yang sebagian besar  dilaksanakan pada tanggal 18 Juli 2016. Masyarakat menyambut anjuran tersebut dengan antusias.
Ada yang menyambutnya dengan serius sehingga edaran itu dianggap sebagai instruksi atasan yang harus dilaksanakan. Tidak sedikit pula yang menanggapinya dengan biasa saja, atau bahkan dengan candaan, bahwa mengantar anak ke sekolah itu aktivitas yang tidak penting bagi orang tua. Di media sosial topik mengantar anak ke sekolah menjadi bahan candaan atau lelucon baik dalam bentuk cerita maupun gambar.   
Apa pentingnya mengantar anak ke sekolah? Bagi sebagian orang mengantar anak ke sekolah adalah aktivitas yang biasa, sebagai tugas orang tua karena anaknya tidak bisa berangkat sendiri. Sehingga tidak ada sesuatu yang istimewa dalam kegiatan harian itu.
Bagi orang tua yang banyak kesibukan, mendampingi ini anak merupakan kegiatan yang amat langka. Dikatakan langka, karena dinilai kegiatan itu tidak penting. Atau bisa juga langka karena memang kesempatannya sangat terbatas. 
Mengantar anak ke sekolah bukan aktivitas biasa. Hari pertama masuk sekolah merupakan momentum penting bagi orang tua, siswa dan sekolah guna membangun interaksi dalam ekosistem pendidikan. Di samping itu, kegiatan itu dipandang penting dalam rangka untuk melakukan perubahan mental para pelaku pendidikan, khususnya orang tua untuk terlibat aktif dalam pendidikan putra/putrinya di sekolah.
Antar anak ke sekolah merupakan aktivitas yang menunjukkan perhatian dan kelekatan orang tua dan anak. Kelekatan (attachment) antara orang tua dan anak memberi dampak yang cukup signifikan pada perilaku anak di masa depan.
Jika anak memiliki kelekatan yang baik atau secure attachment dengan orang tuanya, maka diyakini anak tersebut akan berkembang lebih optimal dan memiliki perilaku yang positif. Anak akan tumbuh dengan kecerdasan moral dan sosial anak di kemudian hari. Jabat tangan dan lambaian tangan orang ketika anak memasuki gerbang sekolah tetap menjadi pilihan utamanya.
Dalam pemahaman demikian, bagi orang tua seharunya prihatin dan sedih jika tidak sempat mendampingi anaknya menuju ke tempat belajar atau ke sekolah. Orang tua seharusnya merasa kehilangan momentum dan kesempatan menyiapkan generasi masa depan.
Namun dalam masyarakat justru banyak terjadi aburditas dalam menyiapkan generasi. Betapa banyak orang yang beranggapan, bahwa mengantar anak sekolah menjadi penghambat menuju tempat kerja. Alasannya, toh anak sudah besar atau bisa diantar sopir yang lebih tangkas mengendarai mobil.
Kehidupan modern yang serba teknologis mempengaruhi pola hubungan atau kelekatan anak dan orang tua. Komunikasi sangat terbatas karena kesibukan dalam memenuhi tuntutan dan keinginan hidup. Banyak orang yang pergi kerja pagi sebelum anak-anaknya bangun dan pulang kembali ke rumah malam menemui anak-anaknya sudah tertidur.
Ketika ada kesempatan saling bercengkrama malah disia-siakan. Barangkali pembaca termasuk orang yang berkomunikasi dengan anak tanpa perhatian yang sungguh-sungguh. Misalnya, menanggapi pertanyaan dan pembicaraan anak sambil bermain HP.
Yang lebih parah lagi seruan itu menjadi bahan tertawaan. Maka ketika seruan mengantar anak atau mendampingi anak belajar menjadi bahan lelucon, sadar atau tidak, pada dasarnya menertawakan absurditas kehidupan dan keseharian masyarakat kita sendiri.
Masyarakat yang berakhlak luhur adalah ketika manusianya cepat sadar atas abasurditas kehidupannya. Sebaliknya, masyarakat yang berbudaya rendah adalah ketika manusia menertawakan kebodohannya sendiri.
Mutohharun Jinan, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta

Selasa, 31 Mei 2016

AWAL PUASA UMS TIDAK LIBUR

Kepada Yth.

1. Pimpinan Fakultas dan Unit,
2. Seluruh Civitas Akademika UMS,

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Bakda salam dan sejahtera, kami sampaikan pemberitahuan bahwa, sebagaimana tahun lalu. Universitas Muhammadiyah Surakarta, TIDAK ADA  LIBUR AWAL PUASA. 
Dengan demikian Hari Senin, 6 Juni 2016 seperti biasa normal masuk kerja 
Demikian untuk menjadikan periksa.

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA, SEMOGA AMAL IBADAH KITA DITERIMA ALLAH SWT. AAMIIN.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb

a. n. Rektor
WR. 2

Ir. Sarjito, MT., PhD.

Jumat, 08 April 2016

NIAT JAHAT

NIAT JAHAT
  (Solopos, 8 April 2016)

Dalam lietatur agama niat adalah kehendak dalam hati untuk melakukan sesuatu perbuatan. Niat  juga menjadi dasar tempat diletakkannya suatu perbuatan, sehingga nilai perbuatan itu akan  tergantung pada niatnya. Nilai perbuatan apakah benar, salah, baik, buruk, ikhlas, atau riya kembali pada niat asalnya.
Begitu juga dilihat dari manfaat suatu perbuatan akan berpulang pada apa yang diniatkan sejak awal. Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa orang berhijrah didasari niat karena Allah maka akan memperoleh pahala dari Allah, orang yang berhijrah dengan niat memperoleh harta dunia maka ia akan mendapatkan harta dunia saja (tanpa mendapat pahala di sisi Allah).
Peringatan Nabi tersebut mengisyaratkan, perbuatan yang dilakukan oleh beberapa orang yang secara lahiriah sama namun setiap orang bisa berpijak pada niat yang berbeda.
Apakah niat seseorang itu dapat diketahui orang lain? Merujuk pada pengertian dan hakikat niat yang masih tersembunyi di dalam hati, tentu niat seseorang tidak bisa diketahui oleh siapapun selain dirinya sendiri. Tidak ada yang tahu isi hati orang lain terkait dengan apa yang akan dilakukan. Setiap orang bisa menyembunyikan niatnya secara sangat rapi, bahkan niat itu bisa disembunyikan dibalik apa yang dikatakan dan diperbuatnya.
Seseorang hanya bisa menduga niat dalam hati orang lain melalui sikap-sikap, kebiasaan-kebiasaan, dan gejala-gejala yang tampak. Misalnya, dugaan adanya niat jahat biasanya muncul setelah seseorang diketahui oleh khalayak tentang rekam jejak dan kebiasaan-kebiasaan buruknya, atau telah terbukti kejahatannya di masa lalu, maka orang lain akan meningkatkan kehati-hatian dan waspada terhadapnya.
Dugaan niat baik seseorang biasanya muncul dari perilaku dan perkataan yang baik pula yang ditunjukkan melalui kebiasaan-kebiasaan baik, dan tidak diketahui rekam jejak keburukannya. Maka sangat wajar masyarakat terguncang dan kaget tatkala ada orang yang sebelumnnya dikenal santun, ramah, sederhana, berintegritas, dan berkahlak luhur disangka oleh penegak hukum menyimpan niat jahat melakukan tindak pidana korupsi.
Penegak hukum tentu memiliki landasan berupa alat bukti yang cukup untuk menetapkan niat jahat seseorang sehingga menjadi tersangka. Tersangka memang belum tentu terbukti, proses di pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah niat jahat itu benar ada dan dilaksanakan atau sebatas sangkaan.  
Dalam Islam niat dalam hati diletakkan secara proporsional. Bahwa niat dalam hati, entah itu niat baik atau niat jahat mendapat perlakuan yang sangat bijak. Bahkan, membatalkan niat jahat, tidak dilaksanakan tetap dinilai suatu kebaikan. Perhatikan sabda Nabi Muhammad SAW berikut.
 “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak (jadi) melakukannya, Allah tetap menuliskanya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Minggu, 20 Maret 2016

SUARA HATI



MENGIKUTI SUARA HATI
Oleh Mutohharun Jinan

Dalam berkehidupan setiap orang membutuhkan kehadiran orang lain yang dapat memberi nasehat dan mengingatkan agar tetap istiqamah pada jalan yang benar dan terhindari dari jalan yang salah. Kehadiran orang lain juga sangat diperlukan untuk menjadi pengingat apakah tata laku dan tutur kata seseorang mengandung kebaikan atau sebaliknya justru mengumbar keburukan. Namun, hampir setiap orang juga menyadari pada waktu tertentu bahwa dirinya sendirilah yang harus menentukan nilai perbuatannya.
Terkadang orang diharuskan menentukan sendiri apakah perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk, bermanfaat atau sia-sia. Diri sendiri dituntut menjadi hakim yang memutuskan apakah sebuah gagasan, rencana, dan program dilakukan atau ditinggalkan setelah mempertimbangkan berbagai hal. Tidak selamanya perbuatan dan perkataan seseorang dinilai benar atau salah diukur dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat atau menunggu nasehat dari orang lain, baik itu orang tua, guru, ataupun sahabat karibnya.

Selasa, 01 Maret 2016

MENJADI PENDENGAR YANG BAIK



Berlatih Jadi Pendengar
(Solopos, Jumat, 5 Februari 2016)

Jadilah pendengar yang baik. Pesan ini sudah sangat dikenal dan menjadi falsafah hidup sebagian orang, meski tidak diketahui dari mana asalnya dan siapa yang pertama menyampaikan. Pesan tersebut merupakan perintah bukan larangan. Rasanya aneh jika ada orang yang menasehati “jangan banyak mendengar”.
Berbeda dengan pesan yang terkait dengan akhlak berbicara, yang narasi pesannya lebih berbentuk larangan, misal, “jangan banyak bicara”. Kalau nasehat berupa perintah, isinya juga mengurangi pembicaraan, misalnya “jagalah mulutmu”. Terdengar aneh bila nasehat dalam bertutur kata dengan perintah supaya banyak bicara.
Para sesepuh menggunakan ilustrasi jumlah mulut dan telinga untuk menekankan perlunya menjadi pendengar yang baik. Bahwa pada setiap orang Allah menciptakan satu mulut dan dua telinga. Maknanya, satu mulut supaya manusia itu menyedikitkan bicara, tidak mengumbar banyak kata. Dua telinga artinya supaya manusia lebih banyak mendengar, merenungi nasehat dan masukan dari orang lain.
Sejumlah ayat Alquran mendahulukan pendengaran sebagai alat yang pertama-tama merekam pengetahuan sebagai sarana bersyukur. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Dijadikan untuk kamu pendengaran, penglihatan, dan kalbu agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl/16: 78).