N-11
DALAM NEGARA DEMOKRASI
Pendahuluan
Data
empirik pada realitas politik menunjukkan, dalam dua pemilu terakhir suara
partai Islam melorot tajam. Bahkan dalam sejarah pemilu di Indonesia dukungan
terbesar pemilih muslim pada parpol Islam terjadi pada pemilu 1955 sebesar 44%.
Setelah itu dengan segala dinamika yang menyertai, parpol Islam memperoleh
dukungan tidak lebih dari 30%. Partai-partai Islam sebagai alat perjuangan
politik Islam tidak mendapat dukungan yang signifikan, sementara kehendak untuk
mendirikan negara Islam dan menjadi Islam sebagai dasar negara secara formal
masih tetap kuat membara dalam kesadaran dan nalar aktivis muslim.
Tampaknya
bagi sebagian umat Islam kegagalan meraih dukungan signifikan dari pemilih
muslim demikian bukan dipahami sebagai kesalahan strategi dalam berkomunikasi
dan merebut hati rakyat yang mayoritas muslim. Tetapi sebaliknya sering
dipahami sebagai akibat konspirasi jahat kekuatan anti-Islam dari dalam dan
luar negeri. Karena itu, respon yang muncul justru aktualisasi kekuatan latin
koservatisme dalam komunitas gerakan Islam. Dari sini muncul kembali romantisme
ke masa lalu yang jauh ke model sistem khilafat atau romatisme dekat ke masa
awal-awal kemerdekaan yaitu NII yang pernah lahir dalam sejarah nasional.
Selanjutnya,
gerakan NII tidak pernah lenyap dari cita-cita sebagian umat Islam di
Indonesia. Cita-cita mengenai negara Islam Indonesia tidak berhenti seiring
diantangkapnya deklarator NII RM Kartosoewirjo oleh TNI pada tahun 1962. Dari waktu
ke waktu hingga era reformasi saat ini cita-cita NII tetap menjadi payung bagi
sejumlah gerakan Islam baik secara struktural maupun kultural, dalam landscape
sistem demokrasi.
Diversifikasi
Gerakan NII
Di
Indonesia wacana dan karya kesarjanaan tentang negara Islam sering dikaitkan
dengan aspirasi ideologis dan politis ”golongan agama” yang kemudian
bermetamorfosis menjadi partai Islam. Ini karena mereka, sebagaimana tercermin
dalam di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (1945)
dan sidang Konstituante (1956-1957) ingin menjadikan Islam sebagai dasar
negara.
Sebagaimana
dimaklumi khalayak, perdebatan dalam BPUPKI lebih pada keinginan menjadikan
Islam sebagai dasar negara, bukan negara Islam. Baru pada 7 Agustus Kartosoewirjolah
yang jauh melangkah menyatakan sikap politiknya secara tegas mengumumkan
berdirinya NII melalui gerakan. Namun begitu, sejatinya ada banyak ulasan dan
alasan (interpretasi) agamis, sosiologis, politis mengapa NII muncul sebagai
cita-cita sebagian pemeluk Islam di Indonesia sejak sebelum negeri ini terbebas
dari kolonialisme.
Dari
aspek pengalaman keagamaan pendiri gerakan NII sejatinya tidak cukup meyakinkan
untuk menjadi pioner gerakan Islam militan. Cornelis Van Dijk, dalam bukunya Darul
Islam, setidaknya menggambarkan sosok SM Kartosoewirjo sebagai orang yang
tidak masuk dalam kategori santri dalam terminologi Geertz. Sekolahnya pun
tidak berasal dari pesantren tetapi dari sekolah HIS dan NIAS, sekolah dokter
Jawa milik pemerintah kolonial. Sementara keluarganya berasal dari struktur
priyayi. Ayahnya seorang penjual candu, seorang perantara dalam jaringan
distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan oleh pemerintah
/kolonial (Tempo, 22 Agustus 2010, 72).
Terlepas
asal-usul keluarga dan pendidikan formal itu, ia memang pernah berguru kepada
HOS Cokroaminoto –bapak pergerakan nasionalisme Indonesia melalui syarikat
Islam- selama sekitar empat tahun di Surabaya. Berbeda dengan Soekarno
(nasionalis) dan Semaun (komunis) yang pernah menjadikan Cokroaminoto sebagai
mentor dan inspirator gerakan, Kartosoewirjo setelah rampung berguru ditunjuk
sebagai wakil PSII di Jawa Barat dan bahkan pernah bergabung ke Masyumi
(7/8/1945). Kartosoewirjo banyak mendapatkan wawasan keagamaan secara otodidak
dan dari para guru yang dijumpai di Malangbong Garut Jawa Barat.
Lazimnya
sebuah gerakan sempalan muncul karena faktor ketidakterimaan terhadap reposisi
suatu kelompok dalam tatanan baru. Ada semacam kecemburuan tidak dilibatkannya
kelompok Kartosoewirjo dalam proses peletakan dasar-dasar bernegara
pascakolonialisme. Deklarasi NII, menurut Deliar Noer juga karena kekecewaan
terhadap isi Persetujuan Renville. Kartosoewirjo yang saat itu memimpin
sebagian kekuatan bersenjata umat di daerah Jawa Barat tidak setuju dengan
perjanjian Renville yaitu ditariknya kekuatan bersenjata Indonesia, termasuk Hizbullah
dan Sabilillah dari daerah yang dianggap dikuasai Belanda yang sebagian
wilayahnya adalah Jawa Barat.
Sementara
itu, rakyat juga masih diselimuti kecemasan atas jatuhnya pemerintahan RI di
Yogyakarta pada Desember 1948 karena aksi militer Belanda, dan ditangkapnya
sejumlah tokoh penting dalam pemerintahan, sehingga terjadi kekosongan
pemerintahan RI. Vacum of power seringkali memunculkan pikiran-pikiran
liar untuk memanfaatkan kesempatan dengan memisahkan diri dari keseluruhan
sistem yang sedang berlangsung. Dalam situasi semacam ini NII menemukan
momentum dipermaklumkan.
Dalam
konteks ini kental warna kebencian terhadap kolonialisme Belanda dalam
kaitannya dengan berdirinya NII. NII Kartosoewirjo menetapkan dua tahap
perjuangan revolusi. Pertama revolusi nasional, melawan penjajah Belanda yang
sudah berhasil dilakukan pada proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kedua, revolusi
sosial melawan pemerintahan Indonesia yang tidak berdasarkan Islam tetapi
menganut sistem demokrasi dan Pancasila (Haluan Politik Islam, 1946).
Kartosoewirjo
ditangkap hidup-hidup di gunung Geber Majalaya tahun 1962 setelah 13 tahun
gerilya melawan TNI dan dieksekusi oleh regu tembak pada 5 September 1962
bersama lima anak buahnya. Situasi dan dinamika NII segera berubah antara
diburu untuk dilenyapkan atau dijinakkan guna kepentingan politik baru seiring
dengan pemberontakan PKI (gerakan 30 September 1965). Karena Orba akan segera
menggelar pemilu bersaing dengan PKI maka anggota NII dijinakkan sebagai alat
rahasia untuk memenangkan Golkar di wilayah Jabar khususnya. Pada tahun 1971
mereka dibiayai untuk mengadakan reuni eks-NII dan penyuluhan sekitar pemilu serta
menjadikan PKI sebagai musuh bersama. Maka berlakulah prinsip ”musuh dari musuh
adalah teman”.
Gagasan
negara Islam tidak mati setelah Kartosoewirjo mangkat. Operasi inteljen untuk
menjinakkan justru memicu gerakan neo-Darul Islam, dengan ragam faksi dan
metode gerakan. Sempat terjadi pembelahan kedalam dua sel, yakni kelompok fillah
(berjuang tanpa tanpa senjata) dan kelompok fisabilillah (yang tetap
mengobarkan perang dengan ideologi iman, hijrah, dan jihad. Memang dalam sosiologi
gerakan keagamaan biasanya berlaku dalil, tatkala pimpinan telah dianggap lemah
dan lamban dalam melakukan gerakan maka kelompok militan akan tampil
menyelamatkan etika kelompok dengan risiko memisahkan diri dari kelompok
dominan.
Faksi
NII mengalami pemendaran yang sangat kompleks. Di Garut misalnya masih ada
Sensen Komara menjalankan Negara Islam Indonesia, meneruskan perjuangan ayahnya
yang juga petinggi DI era Kartosoewirjo. Faksi Ajengan Masduki, 1979 (DI
ansharulah dan akram). Faksi Abdullah Sungkar 1993 (mendirikan Jamaah
Islamiyah). Faksi Adah Djaelani 1995. Faksi Tahmid Rahmad Basuki, 1999. Faksi
KW-9 Al-Zaytun pimpinan Panji Gumilang 1998.
Cita-Cita
NII dalam Arena Demokarsi
Gayuh
dengan cita-cita NII lantaran kecewa dengan perjuangan tokoh muslim dalam
merumuskan dasar negara, mimpi NII yang terus hidup juga selalu mendapat
kipasan demografis muslim sebagai mayoritas. Secara
statistik penduduk muslim di negeri ini mencapai 87%. Namun demikian pemeluk
yang mayoritas itu memiliki orientasi keagamaan, ritual, politik, dan budaya
yang berbeda-beda. Komposisi pemeluk sebagai mayoritas tersebut seringkali
menjadi dasar tuntutan bagi pemberlakuan syariat, tuntutan penempatan Islam
sebagai dasar negara hingga perjuangan pembentukan NII atau bentuk lain.
Tuntutan
lain adalah sudah sewajarnya mayoritas muslim mendirikan negara Islam dengan
segala institusi detailnya. Sementara yang lain mengatakan pentingnya penerapan
nilai-nilai Islam dalam format substansi dalam bingkai sistem demokrasi. Dalam
konteks itulah lalu muncul persoalan, apakah penerapan Islam itu harus dalam
format negara dan undang-undang NII sebagaimana Kartosoewirjo atau mengusung
nilai luhur dalam suatu sistem yang kompatibel dengan sistem pemerintahan demokrasi
modern?
Jawaban
terhadap pertanyaan itu beragam tergantung lingkungan sosial politik dan persepsi
serta pemahaman terhadap situasi sosial dan arti kepemelukan secara statistik. Bagi yang mendukung negara Islam memiliki alasan sejarah tentang berdirinya
berbagai kerajaan Islam di hampir seluruh sudut Tanah Air dari Aceh sampai
Papua. Tentu saja ada alasan teologis, bahwa seorang muslim harus mengikuti
segenap perilaku Nabi Muhammad dalam segala aspeknya baik yang bersifat privat
maupun publik-bernegara.
Di
lain pihak, tidak sedikit pula yang tidak mempermasalahkan bentuk negara atau
dasar negara tetapi pada fungsi dan realisasi nilai-nilai luhur dan kemanusiaan
yang pada satu sisi paralel dan kompatibel dengan sistem negara modern
(Bilveer, 2007). Kelompok ini berpendapat bahwa suatu masyarakat bisa disebut
menerapkan ajaran Islam dilihat dan diukur dari kualitas dan realitas kehidupan
mereka. Kualitas itu meliputi seluruh aspek kehidupan sosial dan individual
secara kasat mata walaupun tidak secara verbal dinyatakan sebagai negara Islam.
Dua
pandangan tersebut berimplikasi dalam berbagai persoalan, termasuk tentang
sikap terhadap demokrasi. Sedikitnya ada tiga pendapat yang berbeda dalam
menyikapi hubungan demokrasi dengan Islam. Pertama, mereka yang menolak
demokrasi dengan mengatasnamakan Islam. Mereka ini bependapat bahwa demokrasi
dan Islam adalah dua hal yang bertentangan dan tidak akan bisa dipertemukan. Mereka
beralasan: (1) Demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia sedangkan Islam
berasal dari Allah. (2) Demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat; sedangkan Islam mengatakan bahwa kekuasaan itu milik Allah.
(3) Demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak, padahal belum tentu suara
terbanyak merupakan kebenaran.
Dalam
buku ini kelompok yang termasuk dalam paham ini adalah gerakan-gerakan
fundamentalis muslim seperti HTI, JAT, laskar Jihad, dan MMI. Mereka menolak
demokrasi karena dinilai tidak islami. Iklim kebebasan justru memungkinkan
komunitas ini tetap eksis bahkan bebas menyuarakan aspirasi. Ada yang dengan
lantang menyuarakan sistem khilafah sebagai untuk mengamandemen demokrasi. Ada
pula yang memilik golput karena demokrasi dianggap biang perpecahan, demokrasi
musibah bagi bangsa Indonesia.
Kedua, mereka yang pro-demokrasi secara moderat. Kelompok
ini berpendapat bahwa ada yang positif dalam sistem demokrasi, dan hakikat dari
demokrasi itu sendiri tidak bertentangan, bahkan bersesuaian, dengan ajaran
Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa hakikat demokrasi itu adalah hak rakyat
untuk memilih siapa pemimpinnya. Tidak boleh ada yang memaksa mereka untuk
memilih pemimpin yang tidak mereka sukai, atau pemimpin zhalim, atau korup,
yang merampas hak-hak mereka sebagai rakyat.
Substansi
demokrasi ini berarti juga meniscayakan perlu adanya mekanisme dalam
pemerintahan yang memungkinkan rakyat untuk melakukan fungsi kontrol atau
pengawasan, juga evaluasi terhadap jalannya pemerintahan. Disamping perlu pula
adanya mekanisme yang memungkinkan rakyat memberikan peringatan dan menasihati
pemimpin apabila mereka menyimpang dari amanat yang diberikan kepada mereka;
juga peringatan keras kepada pemimpin yang tidak mau mendengarkan aspirasi
rakyatnya; bahkan memungkinkan rakyat untuk memakzulkannya dengan jalan damai. Gerakan
dan organisasi tradisonal, modernis moderat, dan tarekat masuk dalam kategori
ini.
Ketiga, kelompok yang menerima
demokrasi dengan opsi. Mereka menerima demokrasi tetapi dengan catatan
pengecualian. Ada yang menghalalkan pemilu namun mengharamkan
presiden perempuan dan pemimpin non-muslim. Ada juga yang memilih pemilu
sebagai arena berjuang karena memberi peluang penerapan syariat Islam.
Sementara ada juga yang menerima demokrasi karena mencegah bahaya yang lebih
besar, yaitu mencegah kepemimpinan agama lain sehingga demokrasi diterima
karena darurat.
Demokrasi
sebagai Sasaran Antara
Pasca-Orde
baru runtuh tahun 1998 masa reformasi ketika semua golongan masyarakat bebas
mengemukakan aspirasinya dan membentuk kelompok dan partai, muncul lagi gagasan
NII. Praktek demokrasi memunculkan fenomena baru tentang rivalitas gagasa
konservatif NII. Fenomena demikian merupakan pengalaman berharga bagi aktivis
gerakan Islam sehingga memunculkan fenomena lain yang lebih menarik yaitu pemanfaatan
demokrasi bagi tujuan-tujuan yang dalam banyak hal berbeda atau bertentangan
dengan ide dasar demokrasi itu sendiri.
Gagasan
ini sepertinya tak pernah benar-benar lenyap dari kesadaran teologis dan
ideologis pemeluk Islam di negeri ini. Kadang begitu kuat dan meluas menjadi
wacana publik, tetapi sekali waktu tenggelam beredar secara diam-diam dari
mulut ke mulut dari ruang bawah tanah. Pada saat yang lain kembali muncul secara
terbuka dan mendadak dalam bentuk paling radikal dan keras yang bahkan membuat
sebagian umat Islam mengecamnya. Karena itu, kuat diduga NII sengaja dimainkan
untuk dalam situasi politik tertentu dan untuk tujuan kelompok tertentu pula. Eksplorasi
yang amat memuaskan tentang bangkitnya gagasan negara Islam telah dilakukan
oleh Haedar Nashir dalam Islam Syariat (2008). Bahwa perjuang penegakan
negara Islam melalui jalur atas dan dan jalur bawah. Sejauh ini tidak ada buku
lain yang setara dengan buku dari desertasi tersebut.
Fenomena
lain yang menarik dicermati era reformasi adalah munculnya gerakan-gerakan
politik yang menumpang demokrasi. Mereka menerima demokrasi sebagai suatu
keharusan sejarah yang harus dilalui. Karena itu demokrasi merupakan rumah
singgah sementara yang dapat mengantarkan cita-cita utama negara Islam atau
negara berdasar syariah Islam. Perjuangan penegakan hukum Islam harus melalui
mekanisme yang berlaku yaitu dengan mendirikan partai politik, menempati posisi
pengambil kebijakan, menerbitan undang-undang dan usaha-usaha lain yang
konstitusional. Partai-partai Islam semacam PKS termasuk dalam kategori ini
(hlm. 210). Jamaah Tablig, Al-Irsyad, Hidayatullah ormas yang dekat dengan
sikap ini. Rekaman tentang keganjilan-keganjilan ekspresi dalam era demokrasi
ini seputar cita-cita negara Islam ini dengan lugas dan provokatif diuraikan
dalam buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia (2009).
Pendek
kata, cita-cita tegaknya negara Islam di Indonesia masih terus dikobarkan
dengan beragam jalan. Sebagian berusaha mewujudkan dengan jalan jihad fisik.
Sebagian dengan jalan memanfaatkan konstitusi, dan sebagian lain dengan jalur
kultural dan pendidikan. Suka atau tidak suka, demokrasi telah menjadi bagian
penting dalam pengelolaan bangsa yang mayoritas muslim ini. Yang menarik dari
proses demokratisasi di Indonesia, bukan hanya bahwa bangsa ini berhasil
bangkit dari kungkungan politik otoritarian dan membangun sistem demokrasi di
negeri Muslim terbesar di planet ini, melainkan juga fakta bahwa aktor-aktor
utama dalam proses demokratisasi tersebut adalah para tokoh dan organisasi
Muslim.
Fakta
keras ini yang kemudian membuat para pengamat dan advokat demokrasi menobatkan
Indonesia—negeri Muslim terbesar di planet ini—sebagai ‘the shining example’
demokrasi di dunia Islam, sekaligus mengangkat Indonesia sebagai negara
demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Ini sekaligus
mematahkan pandangan umum di kalangan sarjana dan pengamat Barat bahwa Islam
memiliki banyak pertentangan dengan demokrasi, dan karena itu negeri Muslim
adalah lahan tandus bagi proses demokratisasi.
Apa yang terjadi di Indonesia lebih
dari satu daswarsa lalu kini terulang di negara otoritarian dan monarki di
negara-negara muslim di kawasan Arab-Afrika. Sekurang-kurangnya di sana akan
terjadi pergumulan baru antara kekuatan-kekuatan Islam baik yang pro maupun
yang kontra demokrasi.
Penutup
Wacana
yang mengemuka belakangan adalah ideologi pendirian negara Islam yang tak
pernah padam itu tertuduh(?) sebagai biang kecemasan dalam masyarakat. Orang
tua mencemaskan anaknya yang kuliah semakin ”saleh”, dermawan mencemaskan pencari
sumbangan, bupati mencemaskan sekolah yang tidak mau menyelenggarakan upacara,
para veteran mencemaskan anak TK yang tidak hafal pancasila dan lagu Indonesia
Raya. Semua kecemasan disinyalir bermuara pada ideologi emoh NKRI. Dalam
berdemokrasi ideologi dan cita-cita apa saja boleh ditawarkan asalkan dengan
mempertimbangkan konstitusi yang telah disepakati dan menjaga ketertiban umum
dalam bingkai hukum yang berlaku. Cita-cita negara Islam, masyarakat Islam,
sekuler, khilafah islamiyah, dan lain-lain bisa menjadi bagian dari keseluruhan
model pilihan.
Menutup tulisan ini ada baiknya disimak
kegelisahan banyak pihak yang terwakili dalam kutipan berikut:
”Mekarnya
NII, terorisme, dan radikalisme menghentak kesadaran semua pihak. Gerakan
seperti ini tidak lah sederhana. Gerakan yang cenderung radikal ini biasanya
lahir dalam kompleksitas masalah yang ruwet. Termasuk dalam ranah keagamaan.
Gerkan ini muncul dari situasi politik, ekonomi dan budaya yang penuh antagonis,
karena itu solusinya pun tidak dapat parsial, tetapi memerlukan pendekatan yang
menyeluruh” (Suara Muhammadiyah, 1-15 Juni 2011, hlm.6).