Takut P(k)emiskinan
Solopos, 13 Desember 2013
Menggolongkan seseorang kedalam kategori kaya atau
miskin sejatinya bukan perkara mudah. Setiap orang mempunyai kadar peniliaian masing-masing.
Ada orang yang dipandang orang lain kaya tetapi dirinya masih merasa miskin.
Begitu juga sebaliknya, dipandang orang lain miskin tetapi sebenarnya merasa
kaya.
Dalam perspektif moral, kaya dan miskin tidak semata-mata
diukur dengan materi, tetapi diukur dengan sikap hidup, yaitu sikap bagaimana
memperlakukan diri dan hartanya secara proporsional, baik untuk dirinya maupun
orang lain.
Namun begitu, ada hal yang secara normal dan manusiawi
terdapat kesamaan, bahwa setiap orang pada dasarnya takut miskin. Orang yang
melihat kemiskinan berdasarkan kepemilikan harta sangat takut akan kehilangan
harta. Sedangkan orang yang memandang kemiskinan berdasarkan moralitas sangat
takut kalau kehormatannya jatuh karena perilaku buruknya.
Alquran mengintrodusir takut akan kemiskinan merupakan
bagian dari jalan yang ditempuh setan untuk menjauhkan manusia dari Tuhannya. “Setan
menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat
kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan dari pada-Nya dan karunia (rizki). Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/2: 268).
Ayat
tersebut juga mengisyaratkan tentang pentingnya memperhatikan sikap dan
tindakannya setelah tahu bahwa pada dasarnya manusia teridap sifat takut
miskin. Alquran melarang sejumlah perbuatan lantaran takut kemiskinan. Antara
lain, manusia dilarang berputus asa dan mengambil jalan pintas dengan membunuh
jiwa sesama.
“Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah yang akan memberi rezeki kepada
mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang
besar.” (QS. Al-Isra/17: 31). Tidak boleh membunuh anak-anak baik karena
kemiskinan yang baru diperakirakan dan ditakutkan.
Perbuatan
lain yang diperingatkan terkait dengan takut miskin adalah kikir pada diri
sendiri dan serakah terhadap harta orang lain. Gejala inilah yang paling mudah
dijumpai dalam masyarakat modern saat ini. Sebagaimana yang tampak pada
perilaku para pemimpin yang korup di negeri ini.
Sifat
kikir terlihat dari upaya sistematis atas nama demokrasi memutar modal di
kalangan kelompok (keluarga) sendiri dengan menciptakan oligarki
dan dinasti kekuasaan. Sikap serakah
tampak dari kegilaan melalap harta yang bukan haknya, dan menyiasati sedemikian
rupa agar korupsinya tampak halal dan kosntitusional.
Agaknya
mereka tidak takut dengan jeratan hukum dan sanksi tindak pidana korupsi. Juga
tidak takut takut dengan kehilangan kehormatannya, bahkan tidak takut dengan
ancaman laknat Tuhannya sekalipun. Mereka hanya satu yang ditakuti, yaitu
pemiskinan.
Dari
kasus-kasus korupsi yang tebongkar sangat jelas, bahwa gaji tinggi dan
fasilitas melimpah bukan jaminan pemimpin menghentikan berlaku serakah. Korupsi
adalah bentuk keserakahan. Dalam konteks inilah setiap upaya pemiskinan koruptor
harus diberi jalan seluas-luasnya dan didukung sepenuhnya.
Mutohharun Jinan,
pengajar Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta, alamat
mutohharun.jinan@ums.ac.id