Minggu, 15 Desember 2013

PEMISKINAN KORUPTOR



Takut P(k)emiskinan
Solopos, 13 Desember 2013

Menggolongkan seseorang kedalam kategori kaya atau miskin sejatinya bukan perkara mudah. Setiap orang mempunyai kadar peniliaian masing-masing. Ada orang yang dipandang orang lain kaya tetapi dirinya masih merasa miskin. Begitu juga sebaliknya, dipandang orang lain miskin tetapi sebenarnya merasa kaya.
Dalam perspektif moral, kaya dan miskin tidak semata-mata diukur dengan materi, tetapi diukur dengan sikap hidup, yaitu sikap bagaimana memperlakukan diri dan hartanya secara proporsional, baik untuk dirinya maupun orang lain.
Namun begitu, ada hal yang secara normal dan manusiawi terdapat kesamaan, bahwa setiap orang pada dasarnya takut miskin. Orang yang melihat kemiskinan berdasarkan kepemilikan harta sangat takut akan kehilangan harta. Sedangkan orang yang memandang kemiskinan berdasarkan moralitas sangat takut kalau kehormatannya jatuh karena perilaku buruknya.
Alquran mengintrodusir takut akan kemiskinan merupakan bagian dari jalan yang ditempuh setan untuk menjauhkan manusia dari Tuhannya. “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu  ampunan dari pada-Nya dan karunia (rizki). Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/2: 268).
Ayat tersebut juga mengisyaratkan tentang pentingnya memperhatikan sikap dan tindakannya setelah tahu bahwa pada dasarnya manusia teridap sifat takut miskin. Alquran melarang sejumlah perbuatan lantaran takut kemiskinan. Antara lain, manusia dilarang berputus asa dan mengambil jalan pintas dengan membunuh jiwa sesama.
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra/17: 31). Tidak boleh membunuh anak-anak baik karena kemiskinan yang baru diperakirakan dan ditakutkan.
Perbuatan lain yang diperingatkan terkait dengan takut miskin adalah kikir pada diri sendiri dan serakah terhadap harta orang lain. Gejala inilah yang paling mudah dijumpai dalam masyarakat modern saat ini. Sebagaimana yang tampak pada perilaku para pemimpin yang korup di negeri ini.
Sifat kikir terlihat dari upaya sistematis atas nama demokrasi memutar modal di kalangan kelompok (keluarga) sendiri dengan menciptakan oligarki dan dinasti kekuasaan. Sikap serakah tampak dari kegilaan melalap harta yang bukan haknya, dan menyiasati sedemikian rupa agar korupsinya tampak halal dan kosntitusional.
Agaknya mereka tidak takut dengan jeratan hukum dan sanksi tindak pidana korupsi. Juga tidak takut takut dengan kehilangan kehormatannya, bahkan tidak takut dengan ancaman laknat Tuhannya sekalipun. Mereka hanya satu yang ditakuti, yaitu pemiskinan.
Dari kasus-kasus korupsi yang tebongkar sangat jelas, bahwa gaji tinggi dan fasilitas melimpah bukan jaminan pemimpin menghentikan berlaku serakah. Korupsi adalah bentuk keserakahan. Dalam konteks inilah setiap upaya pemiskinan koruptor harus diberi jalan seluas-luasnya dan didukung sepenuhnya.

Mutohharun Jinan, pengajar Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta, alamat mutohharun.jinan@ums.ac.id

Minggu, 08 Desember 2013

PEDULI GENERASI


Mendidik dengan Cinta

Sesekali dalam kondisi tubuh yang segar cobalah duduk di kursi, merenung, dan memandang anak-anak dengan penuh perhatian. Kemudian tanyakan pada diri sendiri, apa sesungguhnya “sosok anak” menurut anda? Berikan gambaran atau deskripsi singkat apa hakikat anak yang diamanahkan oleh Allah ini.
Sudah barang tentu akan ada banyak jawaban, gambaran, dan harapan yang terlintas pada setiap orang tua terhadap anak-anaknya. Secara biologis anak adalah calon manusia dewasa, secara sisilah anak adalah pelangsung kehidupan keluarga, dan secara generatif anak adalah pemimpin dan pengawal peradaban masa depan. Boleh jadi, dalam lingkup individu anak adalah tumpuan kasih sayang dan perawat orang tatkala mencapai usia lanjut.
Begitu besar harapan dan cita-cita yang dialamatkan kepada anak-anak, maka sudah menjadi keawajiban orang tua dan para guru mendidik anak-anak dengan penuh cinta, mendidiknya dengan segala kemampuan finansial dan membimbing dengan segenap kemampuan intelektual yang kita miliki. Terlebih bila kita menyadari bahwa anak-anak akan hidup di zaman yang berbeda dengan zaman kita saat ini, mereka akan hidup pada zaman di mana godaan dan tantangan hidup akan lebih kompleks.
Mendidik anak dengan penuh kasih sayang dan cinta bukan perkara mudah, dibutuhkan pengetahuan, kesabaran, konsistensi, dan keberlanjutan yang dimulai sejak dini. Mendidik pada dasarnya merupakan proses yang saling terkait antara: pembentukan kebiasaan yang baik, pengajaran dan pembelajaran, dan keteladanan yang dilakukan oleh pendidik.
Rasulullah Muhammad SAW memperlakukan seorang anak adalah calon manusia dewasa yang telah memiliki hati, perasaan, harga diri sebagaimana manusia dewasa, dan telah memiliki hak-hak tertentu yang harus dipenuhi. Dalam satu riwayat disebutkan, ketika ada anak seorang sahabat yang buang air kecil di gendongan Rasulullah, lalu ibu anak tersebut membentak dan merenggutnya dengan kasar, Rasul menegur si ibu dengan mengatakan bahwa air pipis bisa dicuci sedangkan sakit hati anak karena renggutan kasar susah diobati.
Pembentukan karakter anak jelas dimulai sejak dari rumah oleh orang tuanya. Orang tua yang selalu mendidik anak-anaknya dengan rasa cinta dan kasih sayang akan membuat suasana belajar dalam rumah tangga menjadi sangat menyenangkan bagi anak. Anak tidak pernah bosan untuk meyerap setiap pelajaran yang diberikan. Karena tidak ada cara yang lebih baik untuk menawan hati anak dan memenangkan kepercayaannya selain dari mengembangkan rasa cinta dan kasih sayang oleh orang tuanya. Kebiasaan ini harus diterapkan ketika anak melakukan kesalahan sekalipun.
Kebanyakan orang tua dan pendidik terlalu cepat menempatkan anak sebagai pihak tertuduh salah ketika anak melakukan tindakan yang salah. Vonis salah, sanksi dan hukuman langsung diberikan. Hal ini membuat anak cenderung bersikap minder dan rendah diri, tetapi dalam waktu yang sama menyimpan rasa dendam. Sikap yang perlu dikedepankan adalah berikan kesempatan anak untuk membela diri, menjelaskan kejadian yang seberanya, menyampaikan alasan-alasan apa sehingga tindakan itu dilakukan. Bila memang tenyata salah, ditunjukkan kesalahannya baru diberikan sanksi sambil tetap menegaskan bahwa kita bisa belajar dari kesalahan untuk tidak diulang kembali.
Memberikan pengertian dengan bahasa sederhana, disertai sikap cinta, dan beradab akan membuat anak tumbuh menjadi anak yang lembut dan penuh tanggungjawab. Anak akan mudah memahami lingkungannya dan enak diajak berkomunikasi, sehinga pada akhirnya setelah dia dewasa kelak dia akan tumbuh menjadi manusia yang keberadaanya diakui sebagai pemberi dan penebar kasih sayang yang jadi panutan bagi sesamanya
Diantara pokok-pokok mendidik anak penuh rasa cita adalah dengan memberi perhatian penuh pada anak-anak kita (termasuk kebiasaan-kebiasan dan hal yang diminati), memperhatikan tata pergaulan dan persoalan yang diskusikan dengan teman-teman, mengedepankan sikap fleksible dan tidak terlalu menampakkan sikap protektif kepada anak, menemukan kemampuan dan bakat anak dengan baik, membiasakan perinsip belajar bisa dimana saja dan kapan saja sebab anak bisa belajar setiap hari dari kehidupan.
Begitu juga bagi para pendidik di sekolah dan lembaga pendidikan diperlukan menjaga kesadaran bahwa dirinya sebagai pendidik. Kesadarn inilah menjadi salah satu kunci tampilnya sikap penuh kasih sayang. Memang tidak mudah untuk istiqamah bersikap demikian. Kadang-kadang dalam situasi tertentu lantaran persoalan dan tugas-tugas lain pendidik lupa akan kedudukan asasinya. Kasih sayang merupakan komponen dasar yang utama dalam proses pendidikan dan pembentukan karakter atau akhlak anak. Seorang guru yang memiliki rasa kasih sayang yang besar akan sangat mencintai profesinya dibandingkan dengan seorang guru yang lebih berorientasi sekedar pemenuhan kebutuhan materi. Mendidik  dengan cinta dan rasa kasih sayang akan membuat anak didik merasa betah dan lebih cepat mengerti dan memahami pesan-pesan dan materi yang disampaikan kepadanya. Wallahu a’lam.
Mutohharun Jinan, Alumnus program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pengasuh Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakata